Jumat, 22 April 2011

Membasuh Kaki



Hanya seorang hambalah yang selayaknya membasuh kaki orang lain. Namun 2000 tahun lalu di tanah Israel, seorang pemuda dari Nasaret  mengadakan pembasuhan kaki pada 12 muridnya dalam perjamuan terakhir mereka. Itu perjamuan yang terakhir karena setelah mereka makan bersama, tengah malam Dia ditangkap dan diserahkan pada para pemimpin agama dan pemerintahan. Dia disiksa dan disalib keesokan harinya sampai mati.


Namun kini para pengikutnya malah tersebar di seluruh dunia. Mewartakan hukumnya, mengikuti perintahnya, dan mengenang Dia. Kisah Dia terus dikenang dari generasi ke generasi. Hukumnya terus dihidupi dan diperjuangkan walau terkadang hukum dunia ini memusuhi dan ingin melenyapkannya. Karena memang hukumnya aneh dan tidak masuk akal di mata dunia ini.

Dia mengajarkan cinta kasih, memaafkan, melayani, dan mencintai, sampai menyerahkan nyawa bagi sahabatnya. Dan hebatnya, ia berani melaksanakan hukumnya itu dengan tabah setia.

Mengenang kisah pembasuhan kaki dalam misa Kamis Putih di Gereja Kristus Raja Baciro tadi (Kamis, 21/4), aku jadi terkenang kisah pembasuhan kaki yang pernah aku dan teman-teman lakukan. Waktu itu, aku tergabung dengan tim pendamping kelompok (dampok) Inisiasi Universitas Sanata Dharma 2003. Ada sekitar 40 orang mahasiswa yang  dalam tim dampok itu. Berarti ada 40 kepala, dengan 40 ide, dengan 40 mulut yang semuanya aktif dan bersemangat.

Proses yang melelahkan harus kami jalani bersama-sama untuk menyatukan tujuan, membuka hati dan menciptakan persaudaraan diantara kami. Pertemuan intensif kami lakukan, dengan bermacam pelatihan games dan nyanyian, dengan acara makan-makan dan jalan-jalan, dan puncaknya kami mengadakan semacam retret persiapan puncak di wisma di Muntilan.

Tinggal berapa hari bagi kami, para dampok untuk menjalankan tugas kami, mendamping para mahasiswa baru Universitas Sanata Dharma selama proses Inisiasi mereka. Ini tugas yang sangat menantang, karena setidaknya kami harus mampu menjadi seorang mahasiswa yang komunikatif, cerdas, dan menarik sehingga para maba itu nyaman masuk Sadhar.

Tinggal berapa hari namun rasanya bekal yang kami berikan pada teman-teman dampok tetaplah kurang. Ada yang nampak belum pede berbicara di depan orang banyak, ada yang masih belum bisa kompak dengan teman-temannya, ada yang justru mengalami permasalahan pribadi. Namun jelas kami tidak bisa mengundurkan waktu Insadha, dan kami harus menjalankan tugas sebaik-baiknya.

Di Wisma itu, rasanya beban bertambah berat, stress semakin meningkat, ketegangan dan ketakutan, bercampur jadi satu. Hingga akhirnya berpuncak pada suatu momen yang hebat.

Kami para koordinator, mengumpulkan semua anggota dampok di suatu ruang bundar. Kami berbagi ketakutan dan doa, harapan dan kepasrahan. Di malam yang sunyi, dalam momen tenang itu, Achong alias Probondaru Koentjoro mulai menghampiri dan membasuh kaki teman-teman satu persatu.

Momen biasa sebenarnya, 2000 tahun lalu sudah pernah ada seorang pemuda yang melakukannya. Namun, teman-teman mulai bereaksi. Para gadis mulai menagis. Para lelaki berteriak tidak mau. Mereka menolak. Mereka protes.

Mengapa harus ada acara pembasuhan kaki?
Mengapa tidak membuat acara yang biasa saja?
Ini bukan acara perjamuan terakhir!
Aku tidak mau kakiku dibasuh olehmu!!

Teman-teman terisak. Marah. Takut. Bingung... tapi kami tetap bertahan, semua anggota dampok harus mau dibasuh kakinya. Sampai akhirnya mereka menyerah, dan membiarkan kakinya dibasuh. Walau dengan isak kemarahan namun pasrah. Dan diakhir kami saling berpelukan, saling meminta maaf, meminta damai pengampunan atas kesalahpahaman. Dan memang benar, melalui momen sederhana yang diajarkannya 2000 tahun lalu, kami mendapatkan banyak pengalaman.

Entah apa yang dirasakan teman-temanku itu, namun bagiku, tindakan seorang pemimpin yang rela membasuh kaki anggotanya itu puncak dari ilmu kepemimpinan. Seorang pemimpin yang mau melayani akan memberikan dampak yang luar biasa bagi organisasinya, bagi anak buahnya, bagi pengikutnya.

Mengenang peristiwa pembasuhan kaki anggota dampok yang menolak dan marah lalu akhirnya pasrah ketika melihat Romo membasuh kaki '12 rasul' di Gereja tadi, menjadikan aku merasa sama seperti teman-teman juga. Pemuda yang lahir 2000 tahun lalu di Betlehem itu berkali-kali menghambakan dirinya untuk aku. Dia membasuh kakiku, membasuh air mataku, membasuh dosa-dosaku, dan aku sering menolaknya. Menolak perintahnya. Menolak hukumnya. Menolak Dia.

Padahal kalau melihat apa yang terjadi dengan teman-teman yang akhirnya mau menerima dirinya dibasuh oleh Achong, mereka tampak lega dan bahagia walau yaa.. tetap ada air mata yang keluar. Namun mereka lega. Lalu pada akhirnya mereka mau dan mampu menjalakan peran mereka sebagai dampok Insadha 2003.

Seandainya aku tidak menolak Dia,
Apa yang akan kualami dalam hidup ini?
Hmm... aku tidak tahu.. namun rasanya bakal luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar