Sabtu, 04 Juni 2011

Ad Maiora Natus Sum

Notes ini tulisan dari Pak J. Sumardianta, guru JB, guru dari Ag. Saptono Nugroho, alumnus De Britto 2006. Saptono adalah adik dari sahabat kita Yohana Anita... 2 Juni 2011 lalu, Saptono meninggal dalam kecelakaan di Jambi. Saptono meninggal, namun kenangan atas kebaikan hatinya semoga abadi dalam ingatan kita, dan terus menyemangati kita untuk memiliki tekad: Ad Maiora Natus Sum


***

Mengenang Saptono (1988-2 Juni 2011)

Oleh: J. Sumardianta

"Kekuatan alam dahsyat, seperti gravitasi dan gelombang elektromagnetik, tak tertangkap oleh indra, namun dayanya tidak perlu diperdebatkan lagi. Kekuatan cinta juga tidak terlihat namun dayanya mengatasi kekuatan alam. Daya cinta menggejala di mana-mana."
-Rhonda Byrne


Predikat Indonesia telah berubah. Bukan lagi Nusantara yang kaya raya sumber daya alam melainkan negeri yang kaya raya bencana alam. Masyarakat Indonesia hidup di atas garis petaka. Rakyat Aceh , Nias, dan Mentawai diterjang tsunami. Warga Yogya, Bantul, Sleman, dan Klaten dirajam gempa tektonik. Masyarakat lereng gunung Merapi kocar-kacir dihajar letusan gunung. Penduduk Sidoarjo lintang pukang digelontor semburan Lumpur bercampur gas. Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara Timur setiap tahun di musim penghujan juga langganan banjir bandang dan tanah longsor.


Bencana silih berganti mempertontonkan betapa tidak siapnya negeri ini menangani gebalau amukan alam. Ungkapan lama mengatakan, ular kobra biasanya memagut dua kali. Malapetaka senantiasa dating silih berganti

Tidak ada bencana yang berdiri sendiri. Kendati demikian, bencana alam mesti dibaca juga sebagai warta apokaliptik. Bukan untuk meramalkan kehancuran melainkan ajakan bangkit dari reruntuhan. Penderitaan, kematian, dan kehancuran tampak bergandengan dengan tangan belas kasih dan harapan. Esai ini merupakan endapan pengalaman penulis sebagai relawan sekaligus korban gempa tektonik 27 Mei 2006.

Pak Sipon Adisumarto (50 th) bukti nyata ketegaran menaklukkan kesulitan dan ketabahan manusia menghadapi tragedi. Pak Sipon teladan bagaimana manusia belajar, dalam situasi paling kelam dan kurang manusiawi masih bisa menyalakan optimisme. Kakek warga Dusun Sumber Kidul, Desa Kalitirto Kedamatan Berbah, Kabupaten Sleman itu selesai menguburkan anak perempuan dan cucunya yang meninggal tertimpa reruntuhan rumah, langsung bergotong-royong membereskan puing-puing bangunan yang membelasah di sekujur dusun.

Buruh ladang tebu ini benar-benar tak terpatahkan. Pak Sipon miskin dan sederhana. Namun penderitaan panjang dan ekstrem telah menggembleng dia menjadi manusia kuat dan luar biasa.

Dusun Sumber Kidul memancarkan daya hidup dan kegembiraan justru dari kepapaan Pak Sipon yang begitu rupa. Ketabahan Pak Sipon membuktikan pengabdian demi kebaikan yang lebih besar. Pak Sipon mengajarkan keteladanan hidup perihal ngeduwungi sipat umuk lan atosing ati (menyesali perangai congkak dan bebal hati).

Kecamatan Berbah merupakan wilayah Kabupaten Sleman yang paling parah dihajar bencana. Wilayah ini berada di kawasan sesar (patahan kulit bumi) Kali Opak. Gerakan liar sesar Opak itulah yang meluluhlantakkan Desa Kalitirto, Tegaltirto, Jogotirto, dan Sendangtirto. Berbah, kendati dekat dengan Bandara Adisucipto dan jalan provinsi ke arah Solo dan Surabaya, nyaris terisolasi total mengingat seluruh fokus perhatian tercurah ke Kabupaten Bantul dan Klaten.

Saptono, waktu bencana siswa kelas III SMA Kolese De Britto, warga Dusun Karang Wetan, Desa Tegaltirto, tidak mau terkungkung dalam sangkar keterpencilan. Walau rumahnya rata tanah, Saptono merelakan diri jadi tenaga relawan untuk desanya. Dia salah satu tulang punggung Komite Gotong Royong Berbah, yang dipercaya mendata kebutuhan korban. Mencari sumbangan ke donator dan mendistribusikan bantuan ke warga dusun yang sangat memerlukan uluran tangan.

Agar bantuan tepat sasaran, Saptono berani bersitegang dengan siapa pun. Dia memotong jalur distribusi posko, langsung menyalurkan bantuan dengan pendekatan individual. Berkat orang-orang seperti Saptono, logistik tidak menumpuk di posko tapi langsung dibagikan ke titik-titik tepat sasaran.

Komite memiliki relawan penghubung yang berasal dari dan mengakar kuat di pedusunan. Komite itu diberi nama Gotong Royong karena semangat gotong royong memang menjadi modal sosial masyarakat Berbah jauh sebelum kawasan itu dirajam malapetaka gempa .

Anggota komite bekerja seperti kesetanan karena menemukan uang receh terbungkus amplop surat di tumpukan pakaian bekas. Uang itu berasal dari tabungan seorang anak kecil yang bersama pakaian pantas pakai miliknya disumbangkan kepada komite. Sumbangan seorang bocah ini turut melipatgandakan energi komite untuk terus tandang grayang (bekerja keras tanpa kenal lelah) membantu masyarakat yang sedang dirundung nestapa.

“Belum pernah hidupku begitu bernilai dan bermakna seperti saat ini,” ujar Saptono. Pemuda ini rupanya sedang memperagakan spiritualitas St. Stanilaus Kotska: Ad Maiora Natus Sum (Aku dilahirkan untuk memperjuangkan hal-hal luhur).

Sebagai relawan sekaligus korban yang berdaya tahan (Penyintas), Saptono mendapatkan jendela rohani untuk memandang penderitaan. Pada diri Saptono tidak terdapat fatalisme dan sikap menyerah. Dari mulutnya tidak pernah terdengar keluh kesah dan pemberontakan. Di balik tubuh kerempeng dan wajahnya yang tirus terdapat naluri kepemimpinan alamiah. Dia telah memberi manfaat dari kemalangan.

Pemuda lulusan SMA 2006, diterima di Fakultas Biologi UGM, tapi terancam putus sekolah ini bagaikan kembang api telah memijarkan cahaya pengharapan bagi para warga desanya. Pada usia belia, Saptono mengajarkan ketangguhan spiritual dalam hal kaprasajan (kebersahajaan), sabar ing manah (kesabaran hati), dan nampi lakon ingkang prihatin (menerima dengan ikhlas dan mengalir kenyataan hidup memprihatinkan).

Koyo gabah diinteri. Gempa bumi memperlakukan korban layaknya beras sedang diayak dan ditampi. Bencana sungguh menapis mana emas dan mana yang sekadar loyang.

Doni dan Kevin salah dua di antara manusia berhati emas. Dua pemuda pengelola Djendelo Kafe Yogyakarta, sehari-harinya telanjur dicap sebagai manusia bermoral bejat sulit diperbaiki. Hidup mereka seperti tidak bisa lepas dari minuman keras. Tapi mereka minum wedang galak sesungguhnya untuk berbagi kebahagiaan dan cinta.

Air kejujuranlah yang membuat mereka menjadi manusia otentik dan peka terhadap sesama. Persis seperti yang dikatakan Alexis Sorbas, filsuf jalanan Yunani, “Orang yang bisa menyanyi dan menari dengan seluruh ketidaksadarannya karena terendam anggur berarti telah mengalami pembebasan.”

Kevin dan Doni menyulap Djendelo Kafe, sejak hari pertama bencana, menjadi posko tempat belasan relawan mangkal. Pontang-panting mereka menggalang dukungan logistic dan dari dari segala penjuru dermawan. Djendelo menyalurkan logistic ke Kecamatan Pundong, Pleret, Imogiri dan nun di pelosok Dlingo Bantul. Operasional posko ditomboki dengan dana pribadi. Keduanya seperti tidak punya urat takut saat larut malam harus menembus barikade penjarah dan perompak yang bergentayangan di sepanjang jalan karena teringat wajah tegar perempuan dusun yang meminta kiriman bantuan bumbu pawon.

Doni dan Kevin, dua ikon Pangoentji (Paguyuban Ngoenjuk Tjiu), komunitas para peminum di Yogyakarta, bahagia hidupnya bermakna. Tokoh-tokoh Pangoentji yang lain dengan cara masing-masing juga mengerahkan seluruh survival and existensial need guna meringankan beban masyarakat yang dilanda kesulitan. Kiprah mereka persis seperti menjalankan amanat kuno dari Timur Tengah; barangsiapa menyelamatkan nyawa satu nyawa, dia telah menyelamatkan seluruh dunia.

Sepotong parodi jadi tampak anggun di tengah segala bercak kesengsaraan dan kemalangan. Orang masih memiliki stok humor untuk bisa menertawakan hidup. “Ada posko. Tanya kenapa?” Pelesetan iklan rokok itu ditorehkan dengan cat semprot pada sebuah papan yang disandarkan di belakang mobil ringsek di jalan lingkar Karangkajen, Yogyakarta. Mungkin lelucon itu hendak menertawakan keberadaan posko yang terdiaspora di mana-mana hingga menimbulkan kesulitan distribusi bantuan karena posisinya yang tidak terkonsentrasi di suatu kawasan mudah jangkauan.

Rabindranath Tagore, pujangga besar India, pernah berujar, “Anda diundang untuk menertawakan kesia-siaan hidup ini supaya hidup Anda menjadi penuh berkah.” Di daerah Segoroyoso, Plered, Bantul, ada korban yang berperilaku eksentrik menampilkan humor tingkat tinggi. Ia memacak meja panjang di pinggir jalan. Di atas meja itu, ia menawarkan seluruh koleksi daya tariknya; aneka perkakas rumah tangga ringsek seperti kulkas, jam dinding, dan sepeda. Di dekatnya tergantung papan menggelayut di ranting pohon bertuliskan “For Sale. Barang Antik Warisan Gempa”.

Tertawa menjadi semacam biduk tempat orang Plered itu berpegangan tatkala hidupnya diguncang disorientasi. Hanya di tempat di mana orang hidup berdekatan dengan kematian yang bisa melantunkan banyak teladan tentang solidaritas, cinta dan harapan. Bencana telah mendidik manusia agar tidak terjerumus dalam kesia-siaan, yang berlumuran kemunafikan, hipokrisi, dan tipu muslihat.

Bencana seolah membenarkan kebajikan Kuang Tzu, Bapak Taoisme: “Jika saat berpulang tiba, aku hanya membutuhkan beberapa lembar daun pisang saja untuk berbaring selamanya.” Derajat (kedudukan), pangkat (kekuasaan), dan semat (prestise) tidak ada artinya lagi.

Ini peringatan buat manusia yang menjelma menjadi burung gagak pemakan bangkai, tikus, ular, dan kalajengking yang berkaok-kaok dan berkeriapan memperdagangkan kemarahan alam dengan mengatasnamakan aids politics maupun aids industry.***

*J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto, mantan kordinator Komite Gotong Royong, Berbah, Sleman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar