Notes ini tulisan dari Pak J. Sumardianta, guru JB, guru dari Ag.
Saptono Nugroho, alumnus De Britto 2006. Saptono adalah adik dari
sahabat kita Yohana Anita... 2 Juni 2011 lalu, Saptono meninggal dalam
kecelakaan di Jambi. Saptono meninggal, namun kenangan atas kebaikan
hatinya semoga abadi dalam ingatan kita, dan terus menyemangati kita
untuk memiliki tekad: Ad Maiora Natus Sum
***
Mengenang Saptono (1988-2 Juni 2011)
Oleh: J. Sumardianta
"Kekuatan
alam dahsyat, seperti gravitasi dan gelombang elektromagnetik, tak
tertangkap oleh indra, namun dayanya tidak perlu diperdebatkan lagi.
Kekuatan cinta juga tidak terlihat namun dayanya mengatasi kekuatan
alam. Daya cinta menggejala di mana-mana."
-Rhonda Byrne
Predikat
Indonesia telah berubah. Bukan lagi Nusantara yang kaya raya sumber
daya alam melainkan negeri yang kaya raya bencana alam. Masyarakat
Indonesia hidup di atas garis petaka. Rakyat Aceh , Nias, dan Mentawai
diterjang tsunami. Warga Yogya, Bantul, Sleman, dan Klaten dirajam gempa
tektonik. Masyarakat lereng gunung Merapi kocar-kacir dihajar letusan
gunung. Penduduk Sidoarjo lintang pukang digelontor semburan Lumpur
bercampur gas. Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara
Timur setiap tahun di musim penghujan juga langganan banjir bandang dan
tanah longsor.
Bencana silih berganti mempertontonkan
betapa tidak siapnya negeri ini menangani gebalau amukan alam. Ungkapan
lama mengatakan, ular kobra biasanya memagut dua kali. Malapetaka
senantiasa dating silih berganti
Tidak ada bencana yang
berdiri sendiri. Kendati demikian, bencana alam mesti dibaca juga
sebagai warta apokaliptik. Bukan untuk meramalkan kehancuran melainkan
ajakan bangkit dari reruntuhan. Penderitaan, kematian, dan kehancuran
tampak bergandengan dengan tangan belas kasih dan harapan. Esai ini
merupakan endapan pengalaman penulis sebagai relawan sekaligus korban
gempa tektonik 27 Mei 2006.
Pak Sipon Adisumarto (50 th)
bukti nyata ketegaran menaklukkan kesulitan dan ketabahan manusia
menghadapi tragedi. Pak Sipon teladan bagaimana manusia belajar, dalam
situasi paling kelam dan kurang manusiawi masih bisa menyalakan
optimisme. Kakek warga Dusun Sumber Kidul, Desa Kalitirto Kedamatan
Berbah, Kabupaten Sleman itu selesai menguburkan anak perempuan dan
cucunya yang meninggal tertimpa reruntuhan rumah, langsung
bergotong-royong membereskan puing-puing bangunan yang membelasah di
sekujur dusun.
Buruh ladang tebu ini benar-benar tak
terpatahkan. Pak Sipon miskin dan sederhana. Namun penderitaan panjang
dan ekstrem telah menggembleng dia menjadi manusia kuat dan luar biasa.
Dusun
Sumber Kidul memancarkan daya hidup dan kegembiraan justru dari
kepapaan Pak Sipon yang begitu rupa. Ketabahan Pak Sipon membuktikan
pengabdian demi kebaikan yang lebih besar. Pak Sipon mengajarkan
keteladanan hidup perihal ngeduwungi sipat umuk lan atosing ati
(menyesali perangai congkak dan bebal hati).
Kecamatan
Berbah merupakan wilayah Kabupaten Sleman yang paling parah dihajar
bencana. Wilayah ini berada di kawasan sesar (patahan kulit bumi) Kali
Opak. Gerakan liar sesar Opak itulah yang meluluhlantakkan Desa
Kalitirto, Tegaltirto, Jogotirto, dan Sendangtirto. Berbah, kendati
dekat dengan Bandara Adisucipto dan jalan provinsi ke arah Solo dan
Surabaya, nyaris terisolasi total mengingat seluruh fokus perhatian
tercurah ke Kabupaten Bantul dan Klaten.
Saptono, waktu
bencana siswa kelas III SMA Kolese De Britto, warga Dusun Karang Wetan,
Desa Tegaltirto, tidak mau terkungkung dalam sangkar keterpencilan.
Walau rumahnya rata tanah, Saptono merelakan diri jadi tenaga relawan
untuk desanya. Dia salah satu tulang punggung Komite Gotong Royong
Berbah, yang dipercaya mendata kebutuhan korban. Mencari sumbangan ke
donator dan mendistribusikan bantuan ke warga dusun yang sangat
memerlukan uluran tangan.
Agar bantuan tepat sasaran,
Saptono berani bersitegang dengan siapa pun. Dia memotong jalur
distribusi posko, langsung menyalurkan bantuan dengan pendekatan
individual. Berkat orang-orang seperti Saptono, logistik tidak menumpuk
di posko tapi langsung dibagikan ke titik-titik tepat sasaran.
Komite
memiliki relawan penghubung yang berasal dari dan mengakar kuat di
pedusunan. Komite itu diberi nama Gotong Royong karena semangat gotong
royong memang menjadi modal sosial masyarakat Berbah jauh sebelum
kawasan itu dirajam malapetaka gempa .
Anggota komite
bekerja seperti kesetanan karena menemukan uang receh terbungkus amplop
surat di tumpukan pakaian bekas. Uang itu berasal dari tabungan seorang
anak kecil yang bersama pakaian pantas pakai miliknya disumbangkan
kepada komite. Sumbangan seorang bocah ini turut melipatgandakan energi
komite untuk terus tandang grayang (bekerja keras tanpa kenal lelah)
membantu masyarakat yang sedang dirundung nestapa.
“Belum
pernah hidupku begitu bernilai dan bermakna seperti saat ini,” ujar
Saptono. Pemuda ini rupanya sedang memperagakan spiritualitas St.
Stanilaus Kotska: Ad Maiora Natus Sum (Aku dilahirkan untuk
memperjuangkan hal-hal luhur).
Sebagai relawan sekaligus
korban yang berdaya tahan (Penyintas), Saptono mendapatkan jendela
rohani untuk memandang penderitaan. Pada diri Saptono tidak terdapat
fatalisme dan sikap menyerah. Dari mulutnya tidak pernah terdengar keluh
kesah dan pemberontakan. Di balik tubuh kerempeng dan wajahnya yang
tirus terdapat naluri kepemimpinan alamiah. Dia telah memberi manfaat
dari kemalangan.
Pemuda lulusan SMA 2006, diterima di
Fakultas Biologi UGM, tapi terancam putus sekolah ini bagaikan kembang
api telah memijarkan cahaya pengharapan bagi para warga desanya. Pada
usia belia, Saptono mengajarkan ketangguhan spiritual dalam hal
kaprasajan (kebersahajaan), sabar ing manah (kesabaran hati), dan nampi
lakon ingkang prihatin (menerima dengan ikhlas dan mengalir kenyataan
hidup memprihatinkan).
Koyo gabah diinteri. Gempa bumi
memperlakukan korban layaknya beras sedang diayak dan ditampi. Bencana
sungguh menapis mana emas dan mana yang sekadar loyang.
Doni
dan Kevin salah dua di antara manusia berhati emas. Dua pemuda
pengelola Djendelo Kafe Yogyakarta, sehari-harinya telanjur dicap
sebagai manusia bermoral bejat sulit diperbaiki. Hidup mereka seperti
tidak bisa lepas dari minuman keras. Tapi mereka minum wedang galak
sesungguhnya untuk berbagi kebahagiaan dan cinta.
Air
kejujuranlah yang membuat mereka menjadi manusia otentik dan peka
terhadap sesama. Persis seperti yang dikatakan Alexis Sorbas, filsuf
jalanan Yunani, “Orang yang bisa menyanyi dan menari dengan seluruh
ketidaksadarannya karena terendam anggur berarti telah mengalami
pembebasan.”
Kevin dan Doni menyulap Djendelo Kafe, sejak
hari pertama bencana, menjadi posko tempat belasan relawan mangkal.
Pontang-panting mereka menggalang dukungan logistic dan dari dari segala
penjuru dermawan. Djendelo menyalurkan logistic ke Kecamatan Pundong,
Pleret, Imogiri dan nun di pelosok Dlingo Bantul. Operasional posko
ditomboki dengan dana pribadi. Keduanya seperti tidak punya urat takut
saat larut malam harus menembus barikade penjarah dan perompak yang
bergentayangan di sepanjang jalan karena teringat wajah tegar perempuan
dusun yang meminta kiriman bantuan bumbu pawon.
Doni dan
Kevin, dua ikon Pangoentji (Paguyuban Ngoenjuk Tjiu), komunitas para
peminum di Yogyakarta, bahagia hidupnya bermakna. Tokoh-tokoh Pangoentji
yang lain dengan cara masing-masing juga mengerahkan seluruh survival
and existensial need guna meringankan beban masyarakat yang dilanda
kesulitan. Kiprah mereka persis seperti menjalankan amanat kuno dari
Timur Tengah; barangsiapa menyelamatkan nyawa satu nyawa, dia telah
menyelamatkan seluruh dunia.
Sepotong parodi jadi tampak
anggun di tengah segala bercak kesengsaraan dan kemalangan. Orang masih
memiliki stok humor untuk bisa menertawakan hidup. “Ada posko. Tanya
kenapa?” Pelesetan iklan rokok itu ditorehkan dengan cat semprot pada
sebuah papan yang disandarkan di belakang mobil ringsek di jalan lingkar
Karangkajen, Yogyakarta. Mungkin lelucon itu hendak menertawakan
keberadaan posko yang terdiaspora di mana-mana hingga menimbulkan
kesulitan distribusi bantuan karena posisinya yang tidak terkonsentrasi
di suatu kawasan mudah jangkauan.
Rabindranath Tagore,
pujangga besar India, pernah berujar, “Anda diundang untuk menertawakan
kesia-siaan hidup ini supaya hidup Anda menjadi penuh berkah.” Di
daerah Segoroyoso, Plered, Bantul, ada korban yang berperilaku
eksentrik menampilkan humor tingkat tinggi. Ia memacak meja panjang di
pinggir jalan. Di atas meja itu, ia menawarkan seluruh koleksi daya
tariknya; aneka perkakas rumah tangga ringsek seperti kulkas, jam
dinding, dan sepeda. Di dekatnya tergantung papan menggelayut di
ranting pohon bertuliskan “For Sale. Barang Antik Warisan Gempa”.
Tertawa
menjadi semacam biduk tempat orang Plered itu berpegangan tatkala
hidupnya diguncang disorientasi. Hanya di tempat di mana orang hidup
berdekatan dengan kematian yang bisa melantunkan banyak teladan tentang
solidaritas, cinta dan harapan. Bencana telah mendidik manusia agar
tidak terjerumus dalam kesia-siaan, yang berlumuran kemunafikan,
hipokrisi, dan tipu muslihat.
Bencana seolah membenarkan
kebajikan Kuang Tzu, Bapak Taoisme: “Jika saat berpulang tiba, aku hanya
membutuhkan beberapa lembar daun pisang saja untuk berbaring
selamanya.” Derajat (kedudukan), pangkat (kekuasaan), dan semat
(prestise) tidak ada artinya lagi.
Ini peringatan buat
manusia yang menjelma menjadi burung gagak pemakan bangkai, tikus, ular,
dan kalajengking yang berkaok-kaok dan berkeriapan memperdagangkan
kemarahan alam dengan mengatasnamakan aids politics maupun aids
industry.***
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto, mantan kordinator Komite Gotong Royong, Berbah, Sleman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar