“Berkarya sebagai guru dan
memperkuat ‘akar’ kebangsaan sekaligus mendampingi mereka. Bangga rasanya
menjadi elemen pencerdas bangsa. Agar garuda-garuda Indonesia dapat mengepakkan
sayap menggapai cita-citanya, dan tetap berdiri tegak sebagai orang Indonesia”
(Adven Sarbani, 24 tahun, Jember)
Tulisan
di atas pernah dimuat di harian Kompas
untuk menyambut HUT ke-62 tahun Republik Indonesia. Waktu itu Kompas membuka kesempatan bagi pembaca
menyatakan idealisme kebangsaan dan bukti cinta kepada negara Indonesia.
Tulisan yang terpilih akan dimuat di koran nasional itu pada 16 Agustus 2007. Tulisan
idealisku ternyata dimuat. Bangga benar rasanya saat itu. Sekarang... apakah
saya masih seidealis itu? Apakah menjadi
guru masih merupakan kebanggaan?
Sebelum
menjawab pertanyaan itu, perlu kuceritakan bagaimana akhirnya bisa memutuskan
untuk jadi guru. Seperti puisi Robert
Frost “The Road Not Taken”
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;
Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,
And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.
I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
Pilihan
menjadi seorang guru itu merupakan pilihan yang tidak umum. Ini jalan yang
tidak biasa dipilih dan dilalui oleh kebanyakan anak muda. Sebab jalan hidup
seorang guru seperti sudah tertulis dalam lagu ‘Oemar Bakri’ yang umumnya hidup
sederhana, tentu tidak menarik bagi kebanyakan orang. Tapi selepas SMA aku memilih
masuk FKIP Universitas Sanata Dharma,
Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia. Tidak ada teman SMA yang masuk ke prodi ini.
I took the one less traveled by.
Kenekatanku
memilih prodi yang tidak populer ini kusadari penuh karena dampak dari pendidikan
yang kudapatkan selama SMA. Tiga tahun bersekolah di SMA Kolese de Britto
ternyata berperan besar dalam pembentukan pola pikir dan sikapku. Di sekolah
milik Yesuit ini aku mengalami apa yang ditulis Pater Jendral Jesuit, Adolfo
Nicolas, SJ, “In education, we make
people different…… Our Schools are not competitors for top schools, but to make
people who look differently at reality and at themselves”
Belajar
berani melihat realita dari berbagai sudut pandang dan berpikiran terbuka
memampukan aku untuk berani memilih mengambil jurusan yang tidak populer.
Menjadi guru jelas bukan pilihan yang keren. Namun aku bisa melihat bahwa guru
adalah sosok yang dibutuhkan oleh masyarakat. Di setiap generasi tetap dibutuhkan
orang-orang yang rela mengabdi di jalan pendidikan dan pengajaran. Menjadi salah
satu penjaga peradaban dan kemanusiaan sekaligus agen perubahan. Berani hidup
bermatiraga untuk mendampingi generasi muda mengenal dunia dan menemukan jati
dirinya, itu keren bagiku.
Sampai
pada keberanian seperti itu sebenarnya juga tidak gampang. Untunglah di SMA de
Britto, aku bisa menemui sosok-sosok inspiratif yang selalu senang hati
mendampingi dan membimbing. Cura
personalis.
Aku
ingat akan satu siang yang terik di tahun 2001, beberapa hari sebelum aku
memutuskan masuk Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia. Dalam kondisi bingung
menentukan pilihan, aku datang ke SMA Kolese de Britto, mencari Pak St.
Kartono. Sekolah sudah sepi saat itu. Kami berdua duduk di bahwa pohon beringin
lapangan kelas XII. Waktu itu patung gagah St. Yohanes de Britto belum berdiri.
Pak St. Kartono sabar mendengar kisah kebimbanganku. Bingung antara memilih
melanjutkan studi di FKIP Bahasa Indonesia atau di Fakultas Komunikasi. Guru
yang penuh limpahan antusias dan inspirasi itu memberiku ilustrasi sederhana
dengan menggambar garis-garis di tanah. Dia membuka wawasan, memberi gambaran
risiko dan peluang, menantangku untuk berani menentukan pilihan bukan karena
mengikuti arus kebanyakan orang tapi karena kesadaran, pilihanku sendiri. Akhirnya
Beliau membiarkanku memilih sendiri.
Jadi,
akhirnya sampai di sini aku sekarang. Meniti pengabdian di jalur pendidikan.
Tidak lagi mengajar siswa-siswi SMP di Jember, tapi menjadi dosen di Akademi
dan Universitas Katolik di Surabaya. Apakah idealismeku mulai berkurang? Walau
sekarang menjadi dosen tak lagi menjadi guru, kondisi ini tak menyurutkan
idealisme. Visiku untuk membantu anak-anak muda menemukan jati dirinya dan
menantang mereka meraih impiannya tetap relevan dan tetap kujaga. Bagaimana pun
kita seharusnya memang hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita yang kita
rancang, menurut patokan yang kita anggap sempurna dengan tetap adaptif
terhadap perubahan dunia sekitar. Hanya dari situlah kita bisa menjadi manusia
bebas.
Menjadi
manusia bebas itu seperti ditulis oleh Jim Collins dan Morten T. Hansen dalam
buku Great by Choice, itu berarti
kita bebas memilih. Bebas menjadi hebat karena pilihan kita sendiri. Mampu
menjadi pemimpin dengan menumbuhkan semangat dan standar sendiri. Itulah yang kupelajari di SMA Kolese de Britto.
Itulah yang ingin aku ajarkan kepada siswa-siswaku.
Bacaan:
·Admin.
(2008, 10 Juni). Pendidikan Ignasian di Kolese Jesuit dan Tantangannya (hanya
sebuah catatan ringan), diperoleh 18 Maret 2018 dari https://ignatiusofloyola.
wordpress.com/2008/06/10/pendidikan-ignasian-di-kolese-jesuit-dan-tantangannya-hanya-sebuah-catatan-ringan/
·Collins,
Jim dan Hansen, Morten. 2011. Great by Choice, penerjemah Satrio Wahono.
Jakarta: Gramedia.
·Frost,
Robert. The Road Not Taken. diperoleh 18 Maret 2016 dari http://www.poetryfoundation.org/poem/173536.
· Widyaputranto,
Augustinus. (2009, 06
Maret). Lima Karakteristik Pendidikan Jesuit, diperoleh 18 Maret 2016 dari http://www.ignatiusloyola.net/
2009/03/lima-karakteristik-pendidikan-jesuit.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar