Minggu, 23 Juli 2017

Jalan Kebebasan Tak Pernah Ditempuh Sendirian


Berkarya sebagai guru dan memperkuat ‘akar’ kebangsaan sekaligus mendampingi mereka. Bangga rasanya menjadi elemen pencerdas bangsa. Agar garuda-garuda Indonesia dapat mengepakkan sayap menggapai cita-citanya, dan tetap berdiri tegak sebagai orang Indonesia” (Adven Sarbani, 24 tahun, Jember)
Tulisan di atas pernah dimuat di harian Kompas untuk menyambut HUT ke-62 tahun Republik Indonesia. Waktu itu Kompas membuka kesempatan bagi pembaca menyatakan idealisme kebangsaan dan bukti cinta kepada negara Indonesia. Tulisan yang terpilih akan dimuat di koran nasional itu pada 16 Agustus 2007. Tulisan idealisku ternyata dimuat. Bangga benar rasanya saat itu. Sekarang... apakah saya masih seidealis itu?  Apakah menjadi guru masih merupakan kebanggaan?  
Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu kuceritakan bagaimana akhirnya bisa memutuskan untuk jadi guru.  Seperti puisi Robert Frost “The Road Not Taken
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;
Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,
And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.
I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
Pilihan menjadi seorang guru itu merupakan pilihan yang tidak umum. Ini jalan yang tidak biasa dipilih dan dilalui oleh kebanyakan anak muda. Sebab jalan hidup seorang guru seperti sudah tertulis dalam lagu ‘Oemar Bakri’ yang umumnya hidup sederhana, tentu tidak menarik bagi kebanyakan orang. Tapi selepas SMA aku memilih masuk  FKIP Universitas Sanata Dharma, Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia. Tidak ada teman SMA yang masuk ke prodi ini. I took the one less traveled by.
Kenekatanku memilih prodi yang tidak populer ini kusadari penuh karena dampak dari pendidikan yang kudapatkan selama SMA. Tiga tahun bersekolah di SMA Kolese de Britto ternyata berperan besar dalam pembentukan pola pikir dan sikapku. Di sekolah milik Yesuit ini aku mengalami apa yang ditulis Pater Jendral Jesuit, Adolfo Nicolas, SJ, “In education, we make people different…… Our Schools are not competitors for top schools, but to make people who look differently at reality and at themselves
Belajar berani melihat realita dari berbagai sudut pandang dan berpikiran terbuka memampukan aku untuk berani memilih mengambil jurusan yang tidak populer. Menjadi guru jelas bukan pilihan yang keren. Namun aku bisa melihat bahwa guru adalah sosok yang dibutuhkan oleh masyarakat. Di setiap generasi tetap dibutuhkan orang-orang yang rela mengabdi di jalan pendidikan dan pengajaran. Menjadi salah satu penjaga peradaban dan kemanusiaan sekaligus agen perubahan. Berani hidup bermatiraga untuk mendampingi generasi muda mengenal dunia dan menemukan jati dirinya, itu keren bagiku.
Sampai pada keberanian seperti itu sebenarnya juga tidak gampang. Untunglah di SMA de Britto, aku bisa menemui sosok-sosok inspiratif yang selalu senang hati mendampingi dan membimbing. Cura personalis.
Aku ingat akan satu siang yang terik di tahun 2001, beberapa hari sebelum aku memutuskan masuk Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia. Dalam kondisi bingung menentukan pilihan, aku datang ke SMA Kolese de Britto, mencari Pak St. Kartono. Sekolah sudah sepi saat itu. Kami berdua duduk di bahwa pohon beringin lapangan kelas XII. Waktu itu patung gagah St. Yohanes de Britto belum berdiri. Pak St. Kartono sabar mendengar kisah kebimbanganku. Bingung antara memilih melanjutkan studi di FKIP Bahasa Indonesia atau di Fakultas Komunikasi. Guru yang penuh limpahan antusias dan inspirasi itu memberiku ilustrasi sederhana dengan menggambar garis-garis di tanah. Dia membuka wawasan, memberi gambaran risiko dan peluang, menantangku untuk berani menentukan pilihan bukan karena mengikuti arus kebanyakan orang tapi karena kesadaran, pilihanku sendiri. Akhirnya Beliau membiarkanku memilih sendiri.
Jadi, akhirnya sampai di sini aku sekarang. Meniti pengabdian di jalur pendidikan. Tidak lagi mengajar siswa-siswi SMP di Jember, tapi menjadi dosen di Akademi dan Universitas Katolik di Surabaya. Apakah idealismeku mulai berkurang? Walau sekarang menjadi dosen tak lagi menjadi guru, kondisi ini tak menyurutkan idealisme. Visiku untuk membantu anak-anak muda menemukan jati dirinya dan menantang mereka meraih impiannya tetap relevan dan tetap kujaga. Bagaimana pun kita seharusnya memang hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita yang kita rancang, menurut patokan yang kita anggap sempurna dengan tetap adaptif terhadap perubahan dunia sekitar. Hanya dari situlah kita bisa menjadi manusia bebas. 
Menjadi manusia bebas itu seperti ditulis oleh Jim Collins dan Morten T. Hansen dalam buku Great by Choice, itu berarti kita bebas memilih. Bebas menjadi hebat karena pilihan kita sendiri. Mampu menjadi pemimpin dengan menumbuhkan semangat dan standar sendiri.  Itulah yang kupelajari di SMA Kolese de Britto. Itulah yang ingin aku ajarkan kepada siswa-siswaku.
Bacaan:
·Admin. (2008, 10 Juni). Pendidikan Ignasian di Kolese Jesuit dan Tantangannya (hanya sebuah catatan ringan), diperoleh 18 Maret 2018 dari https://ignatiusofloyola. wordpress.com/2008/06/10/pendidikan-ignasian-di-kolese-jesuit-dan-tantangannya-hanya-sebuah-catatan-ringan/
·Collins, Jim dan Hansen, Morten. 2011. Great by Choice, penerjemah Satrio Wahono. Jakarta: Gramedia.
·Frost, Robert. The Road Not Taken. diperoleh 18 Maret 2016 dari http://www.poetryfoundation.org/poem/173536.
· Widyaputranto, Augustinus. (2009, 06 Maret). Lima Karakteristik Pendidikan Jesuit, diperoleh 18     Maret 2016 dari http://www.ignatiusloyola.net/ 2009/03/lima-karakteristik-pendidikan-jesuit.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar