Pernah ada masa orang Kristen begitu bergelora membela Tuhan. Mereka
yakin bahwa mereka sedang menjalankan perintah Tuhan. Hingga mereka rela
mengorbankan hidup demi kemuliaan Tuhan dan surga yg dijanjikan.
Perang dan pembantaian telah menjadi catatan hitam sejarah kekristenan.
Kekuasaan yg begitu besar yg dimiliki para imam Gereja serta dukungan
para raja menjadikan Kristen
agama yg
sangat berkuasa kala itu. Ajaran-ajaran yg tertuang di Kitab Suci
dipakai sebagai penguat legalitas kekuasaan Gereja. Kesombongan - dosa
favorit setan - mencengkeram hati para pembesar Gereja. Hingga Gereja
menampakkan wajah kejam dan cuma menyisakan duka, tangis, dan
penderitaan bagi umat yg miskin, anak-anak, para janda, dan kaum liyan.
Kamu bisa menyelidiki sejarah hitam Gereja itu karena tercatat jelas di
buku-buku sejarah. Kamu bisa mendebatnya dan memiliki argumentasi
sendiri mengapa orang Kristen melakukan itu. Tapi kamu tidak bisa
mengelak dari sejarah bahwa pengikut agama Kristen juga pernah
mengalirkan darah, pernah jadi pembantai dan penyiksa. Bahwa pernah ada
masa di mana orang-orang Kristiani membunuh dan merasa sedang
menjalankan perintah Allah.
Mengapa pengikut Yesus Kristus
tega melakukan itu? Mengapa mereka lupa bahwa Yesus pernah melarang
Simon Petrus menghunuskan pedang karena, "Barangsiapa menggunakan
pedang, akan binasa oleh pedang"? Mengapa orang Kristen lupa satu hukum
utama mereka, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"?
Mengapa nafsu untuk menegakkan kebenaran ajaran agama menjadikan mereka
tak lagi memandang manusia lain sebagai saudara yg harus dikasihi?
Ada bermacam jawaban bisa diajukan, tapi satu yg paling masuk akal
adalah di masa itu kekristenan sedang berjaya dan berkuasa. Gereja
Katolik begitu besar kekuasaannya. Paus, para kardinal, para uskup, para
imam dan biarawan adalah orang-orang terhormat dan memiliki kekuasaan.
Bersekutu dengan raja-raja, panglima-panglima perang, kaum rohaniawan
itu terlena dari tugas utama - untuk menjadi saluran berkat dan kasih
Allah - dan mulai bermain politik.
Politik dan kuasa menjadi
permainan yg berbahaya di tangan para 'wakil Tuhan' itu. Dengan
meneriakkan nama Tuhan, mengambil ayat-ayat di Kitab Suci mereka bisa
membakar hati dan menggerakkan orang-orang untuk jadi pembela Tuhan
dengan mengambil jalan pedang. Dengan menggumbar janji-janji kejayaan
dan kenikmatan surga mereka menjadikan orang-orang itu laksana zombie yg
tak lagi bisa berpikir dan merasa mana yg benar, mana yg salah.
Akhirnya kita tahu bagaimana? Sejarah kegelapan yg berisi pembantaian,
penyiksaan, tangis dan air mata harus menjadi catatan hitam dalam
peradaban ini. Kisah para pembela Tuhan itu berakhir dengan kepiluan dan
kehancuran manusia dan peradaban.
Belajar dari sejarah itu
kita memahami sulitnya manusia memposisikan diri benar-benar sebagai
pembela Tuhan. Bahkan sepertinya tidak mungkin jika bersandar pada akal
logika: Tuhan dibela dengan jalan perang, politik, dan kekuasaan.
Siapakah kita ini sampai sebegitu sombongnya ingin membela Tuhan?