Rabu, 22 Februari 2012

50 Tahun


Bagaimana rasanya setia pada satu orang selama lebih kurang 18.250 hari?
Bagaimana rasanya memenuhi janji untuk tetap bersamanya
dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit,
dalam untung dan malang
selama 50 tahun?

*


Jumat kemarin, 28 Oktober 2011, saya berkesempatan menyaksikan moment indah itu. Orang tua kosku di Surabaya, merayakan 600 bulan kebersamaan mereka sebagai suami-istri. Misa syukur dirayakan secara sederhana di rumah mereka. Istimewanya perayaan itu dibawakan oleh putra bungsu mereka.

Pasangan suami istri ini memang istimewa. Sang suami adalah veteran TNI AL angkatan 45. Prajurit dari Delanggu, Jawa Tengah dengan bekas luka pada telapak kakinya dengan pembawaan diam dan tenang. Sedangkan sang istri kebalikannya, begitu energik dan suka bercanda. Mojang Priangan ini ‘tertangkap’ oleh tentara muda dari Delanggu saat terjadi pengejaran pasukan DI/TII Kartosuwiryo di pegunungan Jawa Barat. Setelah pertemuan itu, sampai 28 Oktober 2011 mereka tetap penuh cinta satu sama lainnya.

28 Oktober 1961, mereka mengikat janji suci di depan altar, di hadapan Tuhan dan Gereja. Sejak saat itu mereka memulai hidup keluarga. Sebagai istri tentara, Oma harus rela ditinggal suaminya memenuhi panggilan dinas. Bahkan ketika melahirkan putri pertama, sang suami sedang berada di tengah lautan. Saat Simbah pensiun dari dinas ketentaraan, giliran Oma yang keluar negeri untuk mengasuh anak keluarga-keluarga kaya dari Surabaya. Bertahun-tahun Oma berada di Amerika dan Eropa demi mencukupi kebutuhan keluarga yang dikaruniai empat orang anak.

Kini mereka sudah tua. Simbah sudah mulai pikun dan pendengarannya berkurang drastis, Oma juga sering lupa meletakkan barang dan kadang lupa mematikan kompor sehingga sayuran dan nasi sering gosong.  Namun kehidupan mereka tetap seperti semula, sederhana dan penuh syukur. Saat keempat anaknya menempuh jalan hidupnya masing-masing dan meninggalkan rumah. Maka rumah sederhana mereka  kembali dihuni berdua lagi.

Kesederhanaan. Itulah  rahasia suami-istri itu menjaga rumah tangga mereka. Perasaan syukur yang mudah terucap dari mulut Oma atas anugrah dan kasih yang mereka terima setiap hari, sangat sering saya dengar. “Di sini nasi punya kaki sendiri, lauk punya kaki sendiri, buah punya kaki sendiri.” Ujar Oma penuh syukur karena para tetangga dan umat senantiasa mengasihi mereka dengan sukarela memberikan lauk pauk setiap harinya. Oma juga seorang pendoa yang tekun. Yesus dan Bunda Maria menjadi tempat curhat yang paling Oma percaya untuk berkeluh kesah, memohon dan bersyukur.

Senantiasa mampu untuk bersyukur, itulah kekuatan mereka menjalani  roda kehidupan. Akan mudah kita dengar tawa berderai  dari rumah sederhana mereka. Oma yang suka bercerita dan bercanda selalu menemukan topik seru dan lucu untuk dibicarakan. Sedangkan Simbah yang tenang, yang juga terkadang tidak mendengar topik pembicaraan, nampak jelas dulunya seorang pendengar yang baik.

Berkesempatan mengenal kehidupan mereka berdua secara dekat bagiku merupakan anugrah.  Pasangan ini memberikan kesaksian hidup tentang kesetiaan, komitmen, kesungguhan menjalani hidup yang bermartabat. Tidak mudah, namun mereka bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar