Rabu, 22 Februari 2012

Would You Know My Name, If I Saw You In Heaven


"Dia tidak akan tahu namaku," katanya dengan tenang. Kami duduk sejajar di tangga lantai beranda depan. Dan saat kumenoleh padanya dia sedang menghembuskan nafas panjang. Angin dingin mengalir lembut di sekeliling kami. Malam gelap tanpa rembulan dan bintang-bintang. Anak-anak sudah terlelap. Semoga peri-peri mimpi bersedia taburkan mimpi indah untuk mereka.

Kubersedekap dan masih menatapnya. Pada wanita ini aku tak pernah bisa utuh memahami. Ada banyak tanya namun semua kutahan, ingin kudengar lanjutan ceritanya. Tapi dia memilih untuk terdiam.


Waktu terasa melambat. Cahaya lampu tidak cukup memberi terang. Ada bagian dari dirinya yang masih berselimut bayangan.

Lalu dia menatapku dan waktu semakin terasa membeku. Aku tersenyum tipis. Kucari tahu apa yang ingin dia ceritakan lagi dalam tatapan teduh matanya.

"Aku juga belum memberinya nama,"  bisiknya.

"Aku menolaknya."

"Dan langsung membuangnya ke sorga."

Wanita, sedekat apapun hati ini, dia selalu memiliki misteri. Kumasih menatapnya, mencari sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti. Pada matanya tidak ada bening tetes air mata. Pada tatapannya tidak ada keinginan untuk dipahami. Tidak ada keinginan untuk dikasihani. Hanya pengakuan. Pengakuan dan selimut tebal misteri.

Semua cerita yang kudengar malam ini sulit kucerna. Namun kuberusaha tetap tersenyum padanya. "Kamu kaget ya?" Dia sudah mengenalku dan mengerti arti gerakan mataku. Aku mengangguk pelan.

Dia telah berusaha memberikan pengakuan, jangan kau menambah bebannya dengan menumpahkan apa yang terjadi dengan hatimu sekarang, bisik malaikat pelindungku.

Kugigit pelan bibirku. Tak ingin kubertanya, tak ingin kuberkata. Dia telah menjalani hidup yang berat. Kini dia memiliki 19 anak kecil. Anak-anak yang dikirim dari sorga untuk dia asuh sepenuh cinta. Bersama para suster pemilik yayasan panti asuhan ini, dia berusaha memberikan kasih sayang seutuhnya pada mereka. Pada anak-anak lugu yang ditolak orang tuanya, karena mereka terlahir cacat.

"Kadang," katanya kemudian memecah kebekuan diantara kami, "Aku bertanya bagaimana kabarnya sekarang di sorga."

Sudah berapa tahun? sebenarnya ingin kubertanya. Sudah berapa sekarang umurnya?  Jika... Namun, tenggorokanku terasa kering. Lidahku kelu. Lalu kupilih diam. Berusaha memahaminya. Berusaha tidak meninggalkannya sendiri saat ini. Rasanya dia butuh kutemani. Walau selama ini sudah biasa kulihat dia begitu mandiri.

"Aku merindukannya," matanya menerawang ke langit malam. "Aku selalu merindukannya." Dia pejamkan mata yang mulai berkaca-kaca.

Kuberanikan diri bergeser mendekat dan pelan merangkul pundaknya. Dia terpejam, namun kelopak matanya tak mampu membendung tetes air mata. "Aku merindukannya, sangat merindukannya. Namun, sorga bukan tempatku."

"Sorga bukan tempatku."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar