Minggu, 23 Juli 2017

Menerima Kemenangan

Bagaimana cara membangkitkan lagi kepercayaan diri setelah pukulan-pukulan kegagalan meremukkanmu?

Kami membicarakan seorang teman yg memiliki bakat luar biasa. Namun dia sering kalah dan sangat jarang merasakan kemenangan. Mungkin dia salah pilih jalan atau strategi. Mungkin dia korban dari permainan yg tak bisa dia kendalikan.

Sekarang dia masih berjuang, tapi kami sadari yg bermasalah kini justru sikap mentalnya. Berkali-kali menelan pahit kekalahan membuat dia tak lagi berani menerima kemenangan.

PARA PEMBELA TUHAN




Pernah ada masa orang Kristen begitu bergelora membela Tuhan. Mereka yakin bahwa mereka sedang menjalankan perintah Tuhan. Hingga mereka rela mengorbankan hidup demi kemuliaan Tuhan dan surga yg dijanjikan.

Perang dan pembantaian telah menjadi catatan hitam sejarah kekristenan. Kekuasaan yg begitu besar yg dimiliki para imam Gereja serta dukungan para raja menjadikan Kristen agama yg sangat berkuasa kala itu. Ajaran-ajaran yg tertuang di Kitab Suci dipakai sebagai penguat legalitas kekuasaan Gereja. Kesombongan - dosa favorit setan - mencengkeram hati para pembesar Gereja. Hingga Gereja menampakkan wajah kejam dan cuma menyisakan duka, tangis, dan penderitaan bagi umat yg miskin, anak-anak, para janda, dan kaum liyan.

Kamu bisa menyelidiki sejarah hitam Gereja itu karena tercatat jelas di buku-buku sejarah. Kamu bisa mendebatnya dan memiliki argumentasi sendiri mengapa orang Kristen melakukan itu. Tapi kamu tidak bisa mengelak dari sejarah bahwa pengikut agama Kristen juga pernah mengalirkan darah, pernah jadi pembantai dan penyiksa. Bahwa pernah ada masa di mana orang-orang Kristiani membunuh dan merasa sedang menjalankan perintah Allah.

Mengapa pengikut Yesus Kristus tega melakukan itu? Mengapa mereka lupa bahwa Yesus pernah melarang Simon Petrus menghunuskan pedang karena, "Barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang"? Mengapa orang Kristen lupa satu hukum utama mereka, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"? Mengapa nafsu untuk menegakkan kebenaran ajaran agama menjadikan mereka tak lagi memandang manusia lain sebagai saudara yg harus dikasihi?

Ada bermacam jawaban bisa diajukan, tapi satu yg paling masuk akal adalah di masa itu kekristenan sedang berjaya dan berkuasa. Gereja Katolik begitu besar kekuasaannya. Paus, para kardinal, para uskup, para imam dan biarawan adalah orang-orang terhormat dan memiliki kekuasaan. Bersekutu dengan raja-raja, panglima-panglima perang, kaum rohaniawan itu terlena dari tugas utama - untuk menjadi saluran berkat dan kasih Allah - dan mulai bermain politik.

Politik dan kuasa menjadi permainan yg berbahaya di tangan para 'wakil Tuhan' itu. Dengan meneriakkan nama Tuhan, mengambil ayat-ayat di Kitab Suci mereka bisa membakar hati dan menggerakkan orang-orang untuk jadi pembela Tuhan dengan mengambil jalan pedang. Dengan menggumbar janji-janji kejayaan dan kenikmatan surga mereka menjadikan orang-orang itu laksana zombie yg tak lagi bisa berpikir dan merasa mana yg benar, mana yg salah. Akhirnya kita tahu bagaimana? Sejarah kegelapan yg berisi pembantaian, penyiksaan, tangis dan air mata harus menjadi catatan hitam dalam peradaban ini. Kisah para pembela Tuhan itu berakhir dengan kepiluan dan kehancuran manusia dan peradaban.

Belajar dari sejarah itu kita memahami sulitnya manusia memposisikan diri benar-benar sebagai pembela Tuhan. Bahkan sepertinya tidak mungkin jika bersandar pada akal logika: Tuhan dibela dengan jalan perang, politik, dan kekuasaan.

Siapakah kita ini sampai sebegitu sombongnya ingin membela Tuhan?

Amor animi arbitrio sumitur, non ponitur


Spring is Christ

By: Rumi

Everyone has eaten and fallen asleep. The house is empty. We walk out to the garden to let the apple meet the peach, to carry messages between rose and jasmine.

Spring is Christ,
Raising martyred plants from their shrouds.
Their mouths open in gratitude, wanting to be kissed.


The glow of the rose and the tulip means a lamp is inside.
A leaf trembles. I tremble in the wind-beauty like silk from Turkestan.
The censer fans into flame.

This wind is the Holy Spirit.
The trees are Mary.
Watch how husband and wife play subtle games with their hands.
Cloudy pearls from Aden are thrown across the lovers,
as is the marriage custom.

The scent of Joseph’s shirt comes to Jacob.
A red carnelian of Yemeni laughter is heard
by Muhammad in Mecca.

We talk about this and that. There’s no rest except on these branching moments.

– Jalaluddin Rumi (from The Essential Rumi, by Coleman Barks)

PEACE

Bukan massa kesetanan, cukuplah ribuan bunga menawan.
Bukan teriakan perang, cukuplah pesan damai dan doa harapan.

KOPI & MOLEN WM



Rasa molen WM masih sama seperti pertama aku beli 9 thn lalu. Renyah, manis dengan isi potongan kecil pisang, keju atau coklat. Sedangkan jenis kopi yg kuminum sekarang sudah berbeda dengan jenis kopi 9 tahun lalu. Dulu aku pengemar kopi susu. Kopi susu moka tepatnya. Lalu naik kelas jadi kopi hitam tapi masih pakai gula. Sekarang sudah mulai bisa kunikmati kopi hitam. Ya kopi pahit namun menenangkan.

Beli molen yg sama dan buat kopi yg berbeda. Tentu ada yg bisa kunikmati dari kondisi ini.

RAHASIA DOA



"Mereka kehabisan anggur." Itu doa yg dahsyat. Kata-kata itu diungkapkan Maria kepada Yesus, karena Maria percaya Yesus sanggup melakukan yg terbaik.

Bukan berkeluh kesah dan mengiba. Bukan memerintah dan memaksa. Tapi Maria hanya mengungkapkan apa permasalahan yang terjadi. Lalu dia menyerahkan solusi pemecahan masalah itu pada Yesus sendiri.

Itulah iman.

Jadi walaupun Yesus berkata, "Mau apakah engkau dari padaKu, ibu? SaatKu belum tiba." Maria tidak menjawabnya. Maria tidak meminta Yesus menyuruh murid-muridnya membeli anggur atau meminta Yesus membuat para tamu undangan lupa kalau mereka belum meminum anggur. Maria tidak tahu apa yg akan dilakukan Yesus. Maria cuma percaya Yesus pasti peduli.

Itulah harapan.

Sehingga, Maria berani berkata kepada para pelayan, "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" Maria berani berharap dan percaya. Dia menyiapkan diri serta orang-orang agar juga mempercayai Yesus, anaknya.

Lalu mukjizat pertama pun terjadilah. Air dalam tempayan-tempayan berubah jadi anggur paling nikmat dalam pesta pernikahan itu.

Itulah kasih. Dia hadir memberikan segala yg baik secara berlebih.

Doa yg baik selalu menjangkau kasih itu dan percaya bahwa kasih akan memberikan yg terbaik. Jadi alih-alih memohon ini itu, mengharap ini itu, mendikte dan memerintah Tuhan.. mengapa tidak sekarang kita mengikuti cara manjur Bunda Maria dalam berdoa?

Aku Melihat Indonesia

Oleh: Soekarno


Jika aku berdiri di pantai Ngliyep
Aku mendengar lautan Indonesia bergelora
Membanting di pantai Ngeliyep itu
Aku mendengar lagu – sajak Indonesia

Jikalau aku melihat
Sawah menguning menghijau
Aku tidak melihat lagi
Batang padi menguning – menghijau
Aku melihat Indonesia

Jika aku melihat gunung-gungung
Gunung Merapi, gunung Semeru, gunung Merbabu
Gunung Tangkupan Prahu, gunung Klebet
Dan gunung-gunung yang lain
Aku melihat Indonesia

Jikalau aku mendengar pangkur palaran
Bukan lagi pangkur palaran yang kudengarkan
Aku mendengar Indonesia

Jika aku menghirup udara ini
Aku tidak lagi menghirup udara
Aku menghirup Indonesia

Jika aku melihat wajah anak-anak di desa-desa
Dengan mata yang bersinar-sinar
(berteriak) Merdeka! Merdeka!, Pak! Merdeka!

Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia!

(Dari buku: Bung Karno dan Pemuda)

API


Peradaban manusia sedang mengatur keseimbangannya. Mencari harmoni karena ada guncangan dahsyat setelah ditemukan teknologi informasi.

Polanya selalu seperti itu, generasi muda menyambut penemuan baru dengan gegap gempita dan antusias. Mereka siap mengeksplor segala kemungkinan yang ada. Sedangkan generasi tua memandangnya dengan was-was curiga.

Api. Mata pisau. Roda. Teknik bercocok tanam. Tulisan. Uang. Kapal. Mesiu. Mesin cetak. Buku. Mesin uap. Lokomotif. Bom atom.. Selalu akan tercipta suatu temuan yang bisa menjadi penanda akan selesainya suatu era dan masuklah peradaban ke era baru. Ya, kini kita memasuki era baru, era teknologi informasi.

Internet secara dramatis telah mengubah lanskap permainan di dunia. Akses informasi tak lagi milik segelintir elit saja. Perang tak hanya berada di lapangan, kota atau desa-desa tapi di area-area gelap dalam jaringan internet yang masih asing dan belum terpetakan.

Penguasaan kontrol atas teknologi internet itulah yg jadi tujuannya. Siapa lawan? Siapa kawan? Tidak diketahui. Apakah penguasa lama akan kembali mencengkeramkan cakar-cakar kuasanya? Ataukah golongan penguasa baru akan berhasil menancapkan pengaruhnya? Tidak mudah diprediksi. Karena selalu ada kemungkinan dalam setiap peperangan. Juga selalu ada yang jadi korban dan kehilangan.

Selalu seperti itu gulir roda peradaban.


Ganjuran Pagi Itu



Di sini, saat ini
Kuberdoa dalam keheningan
Bersama suara gesekan sapu
Jejeritan riang anak-anak, dan deru
Mesin kendaraan di kejauhan

Doa-doaku tergesa dan terburu
Seperti cericit burung-burung di pucuk
-pucuk ranting cemara. Riuh. Ribut. Tak tau apa yg dituju.

Tarikan napasku tak tenang, Ya Tuhan.
Kala kulantunkan puji, "Tuhan adalah gembalaku.."
Benarkah Engkau gembalaku?
Benarkah Engkau Tuhanku?
Bersediakah aku?

Lilin-lilin terbaik akan terbakar habis
Daun-daun terindah akan layu dan tersapu
Kesadaran itu menuntun langkahku menaiki candiMu. Ada patungMu. Ada tanganMu menunjuk hatiMu

Ada tangan yg menunjuk hatiku

Bersediakah kamu membuka hatimu dan menerima cintaKu? Ada pertanyaan itu.

-Ganjuran, 27 Juni 2017-

Jalan Kebebasan Tak Pernah Ditempuh Sendirian


Berkarya sebagai guru dan memperkuat ‘akar’ kebangsaan sekaligus mendampingi mereka. Bangga rasanya menjadi elemen pencerdas bangsa. Agar garuda-garuda Indonesia dapat mengepakkan sayap menggapai cita-citanya, dan tetap berdiri tegak sebagai orang Indonesia” (Adven Sarbani, 24 tahun, Jember)
Tulisan di atas pernah dimuat di harian Kompas untuk menyambut HUT ke-62 tahun Republik Indonesia. Waktu itu Kompas membuka kesempatan bagi pembaca menyatakan idealisme kebangsaan dan bukti cinta kepada negara Indonesia. Tulisan yang terpilih akan dimuat di koran nasional itu pada 16 Agustus 2007. Tulisan idealisku ternyata dimuat. Bangga benar rasanya saat itu. Sekarang... apakah saya masih seidealis itu?  Apakah menjadi guru masih merupakan kebanggaan?  
Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu kuceritakan bagaimana akhirnya bisa memutuskan untuk jadi guru.  Seperti puisi Robert Frost “The Road Not Taken
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;
Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,
And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.
I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
Pilihan menjadi seorang guru itu merupakan pilihan yang tidak umum. Ini jalan yang tidak biasa dipilih dan dilalui oleh kebanyakan anak muda. Sebab jalan hidup seorang guru seperti sudah tertulis dalam lagu ‘Oemar Bakri’ yang umumnya hidup sederhana, tentu tidak menarik bagi kebanyakan orang. Tapi selepas SMA aku memilih masuk  FKIP Universitas Sanata Dharma, Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia. Tidak ada teman SMA yang masuk ke prodi ini. I took the one less traveled by.
Kenekatanku memilih prodi yang tidak populer ini kusadari penuh karena dampak dari pendidikan yang kudapatkan selama SMA. Tiga tahun bersekolah di SMA Kolese de Britto ternyata berperan besar dalam pembentukan pola pikir dan sikapku. Di sekolah milik Yesuit ini aku mengalami apa yang ditulis Pater Jendral Jesuit, Adolfo Nicolas, SJ, “In education, we make people different…… Our Schools are not competitors for top schools, but to make people who look differently at reality and at themselves
Belajar berani melihat realita dari berbagai sudut pandang dan berpikiran terbuka memampukan aku untuk berani memilih mengambil jurusan yang tidak populer. Menjadi guru jelas bukan pilihan yang keren. Namun aku bisa melihat bahwa guru adalah sosok yang dibutuhkan oleh masyarakat. Di setiap generasi tetap dibutuhkan orang-orang yang rela mengabdi di jalan pendidikan dan pengajaran. Menjadi salah satu penjaga peradaban dan kemanusiaan sekaligus agen perubahan. Berani hidup bermatiraga untuk mendampingi generasi muda mengenal dunia dan menemukan jati dirinya, itu keren bagiku.
Sampai pada keberanian seperti itu sebenarnya juga tidak gampang. Untunglah di SMA de Britto, aku bisa menemui sosok-sosok inspiratif yang selalu senang hati mendampingi dan membimbing. Cura personalis.
Aku ingat akan satu siang yang terik di tahun 2001, beberapa hari sebelum aku memutuskan masuk Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia. Dalam kondisi bingung menentukan pilihan, aku datang ke SMA Kolese de Britto, mencari Pak St. Kartono. Sekolah sudah sepi saat itu. Kami berdua duduk di bahwa pohon beringin lapangan kelas XII. Waktu itu patung gagah St. Yohanes de Britto belum berdiri. Pak St. Kartono sabar mendengar kisah kebimbanganku. Bingung antara memilih melanjutkan studi di FKIP Bahasa Indonesia atau di Fakultas Komunikasi. Guru yang penuh limpahan antusias dan inspirasi itu memberiku ilustrasi sederhana dengan menggambar garis-garis di tanah. Dia membuka wawasan, memberi gambaran risiko dan peluang, menantangku untuk berani menentukan pilihan bukan karena mengikuti arus kebanyakan orang tapi karena kesadaran, pilihanku sendiri. Akhirnya Beliau membiarkanku memilih sendiri.
Jadi, akhirnya sampai di sini aku sekarang. Meniti pengabdian di jalur pendidikan. Tidak lagi mengajar siswa-siswi SMP di Jember, tapi menjadi dosen di Akademi dan Universitas Katolik di Surabaya. Apakah idealismeku mulai berkurang? Walau sekarang menjadi dosen tak lagi menjadi guru, kondisi ini tak menyurutkan idealisme. Visiku untuk membantu anak-anak muda menemukan jati dirinya dan menantang mereka meraih impiannya tetap relevan dan tetap kujaga. Bagaimana pun kita seharusnya memang hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita yang kita rancang, menurut patokan yang kita anggap sempurna dengan tetap adaptif terhadap perubahan dunia sekitar. Hanya dari situlah kita bisa menjadi manusia bebas. 
Menjadi manusia bebas itu seperti ditulis oleh Jim Collins dan Morten T. Hansen dalam buku Great by Choice, itu berarti kita bebas memilih. Bebas menjadi hebat karena pilihan kita sendiri. Mampu menjadi pemimpin dengan menumbuhkan semangat dan standar sendiri.  Itulah yang kupelajari di SMA Kolese de Britto. Itulah yang ingin aku ajarkan kepada siswa-siswaku.
Bacaan:
·Admin. (2008, 10 Juni). Pendidikan Ignasian di Kolese Jesuit dan Tantangannya (hanya sebuah catatan ringan), diperoleh 18 Maret 2018 dari https://ignatiusofloyola. wordpress.com/2008/06/10/pendidikan-ignasian-di-kolese-jesuit-dan-tantangannya-hanya-sebuah-catatan-ringan/
·Collins, Jim dan Hansen, Morten. 2011. Great by Choice, penerjemah Satrio Wahono. Jakarta: Gramedia.
·Frost, Robert. The Road Not Taken. diperoleh 18 Maret 2016 dari http://www.poetryfoundation.org/poem/173536.
· Widyaputranto, Augustinus. (2009, 06 Maret). Lima Karakteristik Pendidikan Jesuit, diperoleh 18     Maret 2016 dari http://www.ignatiusloyola.net/ 2009/03/lima-karakteristik-pendidikan-jesuit.html

TANDA

*CATATAN BISNIS ENTREPRENEUR DEI*
Bacaan Liturgi 24 Juli 2017
Mat 12: 38-42

Sekali peristiwa beberapa ahli Taurat dan orang Farisi berkata kepada Yesus, "Guru, kami ingin melihat suatu tanda dari padaMu."...

Catatan:

Manusia suka mencari tanda. Mereka membaca fenomana. Mereka menghafalkan pola. Demikianlah Yesus dituntut oleh ahli-ahli Taurat dan orang Farisi untuk menunjukkan Dia adalah benar-benar Nabi, benar-benar Mesias.

Demikian pula dalam bisnis. Anda akan senantiasa dituntut untuk menunjukkan tanda. Tanda bahwa Anda adalah pebisnis yg bisa dipercaya. Tanda bahwa produk atau jasa Anda berkualitas prima. Konsumen akan membaca Anda. Mereka akan menghapalkan produk, jasa, ciri khas Anda.

Sebagai Entrepreneur Dei, tanda Anda sudah jelas. Nama baptis Anda adalah materai bahwa Anda orang Katolik. Dengan orang mengetahui bahwa Anda orang Katolik itu berarti Anda punya kewajiban berlaku selayaknya orang Katolik.

Apa tanda orang Katolik itu? Apa kewajiban Anda selaku orang Katolik? Terlebih lagi.. Anda adalah seorang pebisnis Katolik? Menjadi garam dan terang, berlaku adil dan bijak, memiliki kasih?

Cukupkah itu dalam kehidupan bisnis Anda?