Kini ada hubungan mesra antara bencana, Sinterklas dan Facebook. Belum
jelas juga hubungannya sudah resmi atau masih siri. Tapi cinta segitiga
ini kini tampak semakin panas membara saja. tentu tak banyak yang
menduga, bahkah nyamuk-nyamuk infotainment pun tak mencium bau
gosipnya.Tapi jika Anda, Puan-puan dan Tuan-tuan yang terhormat membaca
tulisan ini sampai tuntas, maka saya jamin Anda akan bisa melihat bahwa
ini bukan gosip semata.
Bermula dari kedatangan si bencana.
Seperti biasa, dia selalu datang dengan gagah perkasa, tak diundang, tak
disangka-sangka. Bencana datang, wajahnya bisa beraneka ragam. Tapi
akibatnya selalu seragam, penderitaan, kematian, kehilangan, tangis,
luka, dan manusia otomatis ingat pada Tuhan.
Setelah bencana
datang, Sinterklas-Sinterklas pun berhamburan masuk ke panggung
penderitaan. Dengan sekarung hadiah, tapi tak memakai baju warna merah
darah, jenggot putih dan tawa “ho, ho, ho”nya, sebab mereka itu
Sinterklas palsu, kawan-kawan. Jika kita tidak awas, kita tak pernah tau
mereka itu Sinterklas jadi-jadian. Kita perlu awas, kita perlu waspada
untuk bisa menandai ciri-cirinya.
Apa ciri-ciri Sinterklas
kesiangan itu setelah bencana datang? Ini ciri-ciri yang aku temukan
berdasarkan pengamatan di lapangan. Mereka ingin tampak seperti dewa
dewi khayangan, memberikan sumbangan beraneka ragam, mengobati
luka-luka, melihat dan menangis kasihan bersama para korban bencana.
“Lho…
jadi apa salahnya? Bukankah para korban itu membutuhkan bantuan?” Ah,
tentu Puan-puan dan Tuan-tuan bisa menyanggah dengan melontarkan
pertanyaan demikian. Iya, benar itu tidak salah, membantu setiap korban
yang menderita itu memang kewajiban kita selaku manusia. Namun yang
menjadi persoalan adalah Sinterklas-Sinterklas gombal itu juga
mengharapkan imbalan. Mereka membawa bendera, dan bendera itu harus
dikibarkan oleh para korban. Bendera itu bisa bernama partai, institusi,
agama, organisasi LSM, bahkan negara.
Ada hal yang lebih parah
yang dilakukan Sinterklas palsu itu Puan-puan dan Tuan-tuan. Mereka
membantu tapi tak pernah berpikir untuk membuat para korban itu bisa
berdiri kembali. Mereka mencekoki korban dengan aneka bantuan, makanan,
obat-obatan, pakaian, pembalut, mainan, tenda, tapi tak pernah punya
program nyata untuk menjawab pertanyaan,
Setelah ini, bagaimana para korban ini memiliki semangat hidup kembali?
Setelah ini, apa saja program yang bisa kuberikan agar mereka punya penghasilan?
Setelah ini, bagaimana melatih mereka agar siap menghadapi bencana yang akan datang?
Setelah ini, apa yang bisa kulakukan untuk mereka?
Tidak.
Para Sinterklas bajakan itu tak pernah berpikir sejauh itu. Mereka
meninggalkan para korban bencana setelah ekspos media mulai redup
cahayanya. Bagi mereka, tugas sudah selesai, bya-bya… da-da, sayonara…
Itu
sepak terjang para Sinterklas palsu, kita tidak tahu bagaimana hubungan
antara bencana dan dirinya, tapi setiap bencana datang, mereka selalu
menyusulnya. Kadang mereka memang memiliki hati yang murni seperti bayi,
polos dan lugu sehingga tak tahu bahwa mereka keliru. Keliru sebab
memberikan bantuan terus menerus sama saja memperlakukan korban bencana
seperti pengemis. Baiknya setelah korban disembuhkan, mereka juga
diberdayakan, dilatih untuk mampu menghasilkan pendapatan.
Namun
ada Sinterklas palsu yang memang busuk, luar dalamnya, belatung isi
hatinya. Mereka memanfaatkan penderitaan para korban bencana untuk
mengeruk keuntungan diri sendiri dan kelompoknya. Kita toh tahu akan
berakhir kemana mereka nantinya.
Lalu dengan Facebook, apa
hubungannya? Ini kabar terbaru yang kudapatkan. Tahun-tahun sebelumnya,
sewaktu Gempa di Jogja (ah…sampai sekarang aku masih ingat getarannya)
Facebook belum ada. Sekarang dia layaknya puteri cantik yang terlalu
menarik untuk diabaikan. Facebook membuat setiap orang ingin eksis dan
narsis. Tidak masalah, karena itu sebenarnya naluri alamiah kita.
Namun,
kini lokasi bencana yang diekspos media dan menarik perhatian massa pun
tak luput jadi latar foto diri di Facebook. Lokasi bencana seolah
adalah tempat wisata yang menarik, eksotik, dan unik. Ah.. Puan-puan
dan Tuan-tuan, pernahkah terpikirkan di benak kita bagaimana perasaan
para korban bencana jika kita hadir ke lokasi bencana sekedar untuk
berfoto-foto ria.
Pernahkah meletakkan diri Anda, Puan-puan dan
Tuan-tuan yang cantik dan tampan pada posisi korban bencana? Pernah
tidak membayangkan, saat diri kita kehilangan orang tua kita, atau
pasangan kita, atau buah hati kita, atau semuanya, terus ada orang asing
datang ke tempat kita sekedar untuk berfoto. Tertawa, meringis, bilang,
“cheesss”, membuat lambang Victory dengan jari telunjuk dan tengah. Apa
yang kau rasakan? Bukankah kau ingin menghajar mereka habis-habisan?
Aku
teringat pada Kevin Carter, seorang fotografer peraih hadiah Pulitzer.
Pulitzer merupakan hadiah tertinggi untuk insan jurnalistik. Fotonya
menggambarkan penderitaan kelaparan yang dasyat di Somalia tahun 1994.
Seorang anak Afrika kurus kering sedang merangkak menuju lokasi
pemberian bantuan pangan. Tubuhnya hitam, tak ada lagi lemak daging,
tinggal kulit yang menempel tulang. Dia merangkak perlahan, dengan
kesakitan, kelaparan dan kelelahan, lalu anak itu tertunduk lemah,
kepalanya menyentuh tanah. Seekor burung pemakan bangkai menunggu di
belakangnya. Menunggu anak itu mati. Pada momen itu sang fotografer
mengabadikannya.
Hasilnya fenomenal, dunia jadi menyadari
pedihnya kelaparan di Somalia. Anak itu akhirnya mati. Si fotografer
mendapatkan hadiah foto jurnalistik tertinggi. Tapi apa yang terjadi?
Tukang foto juga dicerca habis-habisan. Dia dianggap tidak peduli, dia
seharusnya bisa menyelamatkan anak itu, namun dia cuma melihat anak
malang itu mati.
Fotografer membela diri, dia dilarang untuk
memegang orang-orang Somalia, karena ditakutkan bisa terkena infeksi.
Memang dia benar, mereka dilarang keras kontak fisik dengan warga. Dia
benar. Tapi nuraninya tidak bisa ditipu, sang fotografer tetap merasa
bersalah, dan akhirnya bunuh diri dalam penyesalan.
Puan-puan
dan Tuan-tuan, ketidakpedulian kita, sikap kita yang menganggap
keberadaaan kita paling penting itulah bencana yang dilahirkan oleh
media, termasuk Facebook, bahkan mungkin kini terutama oleh Facebook.
Tanpa sadar, kita digiring kepada sikap untuk egois, mementingkan diri
sendiri. Jika kita biarkan, kita akan kehilangan kemampuan untuk
mendengarkan. Kita kehilangan kemampuan untuk berempati. Kita kehilangan
kehangatan kita selaku manusia. Kehilangan kemampuan kita untuk saling
berpelukan.
Setiap teknologi tercipta pada awalnya untuk
mempermudah hidup kita. Selayaknya kita pergunakan itu dengan bijaksana.
Eksis dan narsis memang kebutuhan manusiawi, namun ada kebutuhan lebih
mendasar sebagai manusia, kebutuhan untuk bisa mendengarkan suara hati
kita, pesan-pesan bijak suara hati yang telah direkamkan Pencipta Agung
bagi kita bahkan sebelum kita tercipta. Masih bisakah kau mendengarnya?
Suara itu mungkin tidak lagi sekeras waktu kita kanak-kanak dulu, tapi
Dia masih ada disana, tenang dan dengarkanlah suara lembutnya.
Bencana
dalam berbagai bentuknya merupakan sarana perjumpaan kita dengan
nurani. Apapun peran kita, baik jika kita sebagai korban, penolong,
pewarta, atau sekedar penonton saja. Jika bencana datang, mampukah kita
bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan? Mampukah kita menjawab
suara hati kita yang selalu melagukan syair kebaikan?
Bagaimana
dengan Anda, Puan-puan dan Tuan-tuan? Kuharap sekarang tidak sedang
garuk-garuk kepala seperti saudara tuanya di hutan sana. Jika iya, maaf,
hamba cuma bisa tersenyum saja…
Karena beta jua berlaku sama… v(^^)v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar