Senin, 23 Januari 2012

Benarkah Ada Cinta Segitiga Antara Bencana, Sinterklas, dan Facebook

Kini ada hubungan mesra antara bencana, Sinterklas dan Facebook. Belum jelas juga hubungannya sudah resmi atau masih siri. Tapi cinta segitiga ini kini tampak semakin panas membara saja. tentu tak banyak yang menduga, bahkah nyamuk-nyamuk infotainment pun tak mencium bau gosipnya.Tapi jika Anda, Puan-puan dan Tuan-tuan yang terhormat membaca tulisan ini sampai tuntas, maka saya jamin Anda akan bisa melihat bahwa ini bukan gosip semata.

Bermula dari kedatangan si bencana. Seperti biasa, dia selalu datang dengan gagah perkasa, tak diundang, tak disangka-sangka. Bencana datang, wajahnya bisa beraneka ragam. Tapi akibatnya selalu seragam, penderitaan, kematian, kehilangan, tangis, luka, dan manusia otomatis ingat pada Tuhan.

Setelah bencana datang, Sinterklas-Sinterklas pun berhamburan masuk ke panggung penderitaan. Dengan sekarung hadiah, tapi tak memakai baju warna merah darah, jenggot putih dan tawa “ho, ho, ho”nya, sebab mereka itu Sinterklas palsu, kawan-kawan. Jika kita tidak awas, kita tak pernah tau mereka itu Sinterklas jadi-jadian. Kita perlu awas, kita perlu waspada untuk bisa menandai ciri-cirinya.

Apa ciri-ciri Sinterklas kesiangan itu setelah bencana datang? Ini ciri-ciri yang aku temukan berdasarkan pengamatan di lapangan. Mereka ingin tampak seperti dewa dewi khayangan, memberikan sumbangan beraneka ragam, mengobati luka-luka, melihat dan menangis kasihan bersama para korban bencana.

“Lho… jadi apa salahnya? Bukankah para korban itu membutuhkan bantuan?” Ah, tentu Puan-puan dan Tuan-tuan bisa menyanggah dengan melontarkan pertanyaan demikian. Iya, benar itu tidak salah, membantu setiap korban yang menderita itu memang kewajiban kita selaku manusia. Namun yang menjadi persoalan adalah Sinterklas-Sinterklas gombal itu juga mengharapkan imbalan. Mereka membawa bendera, dan bendera itu harus dikibarkan oleh para korban. Bendera itu bisa bernama partai, institusi, agama, organisasi LSM, bahkan negara.

Ada hal yang lebih parah yang dilakukan Sinterklas palsu itu Puan-puan dan Tuan-tuan. Mereka membantu tapi tak pernah berpikir untuk membuat para korban itu bisa berdiri kembali. Mereka mencekoki korban dengan aneka bantuan, makanan, obat-obatan, pakaian, pembalut, mainan, tenda, tapi tak pernah punya program nyata untuk menjawab pertanyaan,
Setelah ini, bagaimana para korban ini memiliki semangat hidup kembali?
Setelah ini, apa saja program yang bisa kuberikan agar mereka punya penghasilan?
Setelah ini, bagaimana melatih mereka agar siap menghadapi bencana yang akan datang?
Setelah ini, apa yang bisa kulakukan untuk mereka?

Tidak. Para Sinterklas bajakan itu tak pernah berpikir sejauh itu. Mereka meninggalkan para korban bencana setelah ekspos media mulai redup cahayanya. Bagi mereka, tugas sudah selesai, bya-bya… da-da, sayonara…

Itu sepak terjang para Sinterklas palsu, kita tidak tahu bagaimana hubungan antara bencana dan dirinya, tapi setiap bencana datang, mereka selalu menyusulnya. Kadang mereka memang memiliki hati yang murni seperti bayi, polos dan lugu sehingga tak tahu bahwa mereka keliru. Keliru sebab memberikan bantuan terus menerus sama saja memperlakukan korban bencana seperti pengemis. Baiknya setelah korban disembuhkan, mereka juga diberdayakan, dilatih untuk mampu menghasilkan pendapatan.

Namun ada Sinterklas palsu yang memang busuk, luar dalamnya, belatung isi hatinya. Mereka memanfaatkan penderitaan para korban bencana untuk mengeruk keuntungan diri sendiri dan kelompoknya. Kita toh tahu akan berakhir kemana mereka nantinya.

Lalu dengan Facebook, apa hubungannya? Ini kabar terbaru yang kudapatkan. Tahun-tahun sebelumnya, sewaktu Gempa di Jogja (ah…sampai sekarang aku masih ingat getarannya) Facebook belum ada. Sekarang dia layaknya puteri cantik yang terlalu menarik untuk diabaikan. Facebook membuat setiap orang ingin eksis dan narsis. Tidak masalah, karena itu sebenarnya naluri alamiah kita.

Namun, kini lokasi bencana yang diekspos media dan menarik perhatian massa pun tak luput jadi latar foto diri di Facebook. Lokasi bencana seolah adalah tempat wisata yang menarik, eksotik, dan unik. Ah.. Puan-puan dan Tuan-tuan, pernahkah terpikirkan di benak kita bagaimana perasaan para korban bencana jika kita hadir ke lokasi bencana sekedar untuk berfoto-foto ria.

Pernahkah meletakkan diri Anda, Puan-puan dan Tuan-tuan yang cantik dan tampan pada posisi korban bencana? Pernah tidak membayangkan, saat diri kita kehilangan orang tua kita, atau pasangan kita, atau buah hati kita, atau semuanya, terus ada orang asing datang ke tempat kita sekedar untuk berfoto. Tertawa, meringis, bilang, “cheesss”, membuat lambang Victory dengan jari telunjuk dan tengah. Apa yang kau rasakan? Bukankah kau ingin menghajar mereka habis-habisan?

Aku teringat pada Kevin Carter, seorang fotografer peraih hadiah Pulitzer. Pulitzer merupakan hadiah tertinggi untuk insan jurnalistik. Fotonya menggambarkan penderitaan kelaparan yang dasyat di Somalia tahun 1994. Seorang anak Afrika kurus kering sedang merangkak menuju lokasi pemberian bantuan pangan. Tubuhnya hitam, tak ada lagi lemak daging, tinggal kulit yang menempel tulang. Dia merangkak perlahan, dengan kesakitan, kelaparan dan kelelahan, lalu anak itu tertunduk lemah, kepalanya menyentuh tanah. Seekor burung pemakan bangkai menunggu di belakangnya. Menunggu anak itu mati. Pada momen itu sang fotografer mengabadikannya.

Hasilnya fenomenal, dunia jadi menyadari pedihnya kelaparan di Somalia. Anak itu akhirnya mati. Si fotografer mendapatkan hadiah foto jurnalistik tertinggi. Tapi apa yang terjadi? Tukang foto juga dicerca habis-habisan. Dia dianggap tidak peduli, dia seharusnya bisa menyelamatkan anak itu, namun dia cuma melihat anak malang itu mati.

Fotografer membela diri, dia dilarang untuk memegang orang-orang Somalia, karena ditakutkan bisa terkena infeksi. Memang dia benar, mereka dilarang keras kontak fisik dengan warga. Dia benar. Tapi nuraninya tidak bisa ditipu, sang fotografer tetap merasa bersalah, dan akhirnya bunuh diri dalam penyesalan.

Puan-puan dan Tuan-tuan, ketidakpedulian kita, sikap kita yang menganggap keberadaaan kita paling penting itulah bencana yang dilahirkan oleh media, termasuk Facebook, bahkan mungkin kini terutama oleh Facebook. Tanpa sadar, kita digiring kepada sikap untuk egois, mementingkan diri sendiri. Jika kita biarkan, kita akan kehilangan kemampuan untuk mendengarkan. Kita kehilangan kemampuan untuk berempati. Kita kehilangan kehangatan kita selaku manusia. Kehilangan kemampuan kita untuk saling berpelukan.

Setiap teknologi tercipta pada awalnya untuk mempermudah hidup kita. Selayaknya kita pergunakan itu dengan bijaksana. Eksis dan narsis memang kebutuhan manusiawi, namun ada kebutuhan lebih mendasar sebagai manusia, kebutuhan untuk bisa mendengarkan suara hati kita, pesan-pesan bijak suara hati yang telah direkamkan Pencipta Agung bagi kita bahkan sebelum kita tercipta. Masih bisakah kau mendengarnya? Suara itu mungkin tidak lagi sekeras waktu kita kanak-kanak dulu, tapi Dia masih ada disana, tenang dan dengarkanlah suara lembutnya.

Bencana dalam berbagai bentuknya merupakan sarana perjumpaan kita dengan nurani. Apapun peran kita, baik jika kita sebagai korban, penolong, pewarta, atau sekedar penonton saja. Jika bencana datang, mampukah kita bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan? Mampukah kita menjawab suara hati kita yang selalu melagukan syair kebaikan?

Bagaimana dengan Anda, Puan-puan dan Tuan-tuan? Kuharap sekarang tidak sedang garuk-garuk kepala seperti saudara tuanya di hutan sana. Jika iya, maaf, hamba cuma bisa tersenyum saja…
Karena beta jua berlaku sama… v(^^)v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar