“Mau ikut makrab malam minggu besok Ven?”
“Haa.. makrab?”
sahutku memastikan sebab tadi sedang konsentrasi di komik yang kubaca.
Kelas cuma berisi beberapa anak sebab ini waktu istirahat. Tiga teman di
depan sedang sibuk mengerjakan PR. Empat Lainnya di pojok kiri
belakang baru bercerita tidak jelas. Sedangkan aku duduk di tengah
menikmati komik City Hunter pinjaman.
“Iya, malam minggu besok
sama anak Stece. Sudah ada 15 yang mau ikut, tinggal lima lagi. Kamu
ikutlah, biar pas nanti pasangannya.”
Bagi kami makrab merupakan
ajang kenalan ma cewek, sebab sekolah kami isinya cowok semua. Di
makrab, kami cowok-cowok SMA Kolese John de Britto, biasa disingkat JB,
akan bertemu dengan anak-anak sekolah cewek, bisa dari Stella Duce I
(Stece), Stella Duce II (Stero), atau Santa Maria (Stama). Banyak teman
mendapatkan pacar dari acara itu, tapi banyak juga cerita tragis yang
terjadi.
“Ayo, ikutlah. Sekarang banyak yang manis,” rayu
temanku. Semuanya tahu, dia punya program sendiri, dia bersemangat sebab
baru PDKT dengan seorang cewek di Stece itu, bisa dipastikan cewek yang
didekatinya pasti ikut. “Apa saja nanti acaranya?”
“Biasalah kenalan, nanti ada game-game kecil, dan dansa… dansa Ven…”
Nah, sering kudengar dari itu kisah tragisnya bermula, dari acara dansa.
“Kamu belum pernah ikut to? Siapa tahu nanti dapat cewek disana Ven.”
Maka
pada malam minggu itu, aku ikut rombongan topeng monyet mengejar para
bidadari. Kami, anak-anak JB berdandan seadanya, namun berusaha keras
mandi sebelumnya. Pake kaos dan berusaha tampil trendi walau terlihat
grogi. Dalam hati aku mengumpat, ‘Brengsek, kenapa aku akhirnya ikut
acara seperti ini, kenapa tadi tidak maen PS saja.’
Inilah
kekurangan kami. Sekolah berisi cowok semua menjadikan kami bebas dan
nyantai dalam urusan cewek. Di saat teman-temanku di sekolah lain ribut
soal cewek, kami di JB tenang-tenang saja. Malam mingguan kami habiskan
dengan bermain PS di rental atau nongkrong saja di angkringan. Punya
pacar menjadi urusan kesekian. Maka saat kami berhadapan dengan makhluk
Tuhan yang cantik itu, kami seperti manusia-manusia gua yang berhadapan
dengan para dewi dari Khayangan.
Beberapa teman yang punya
tampang, bakat, dan keberanian sudah terlihat santai dan akrab.
Sementara lainnya masih bergerombol, melakukan aktivitas yang tidak
jelas. Payahnya aku termasuk rombongan kedua. Walau sesekali mata ini
melirik ke arah para makhluk yang menebar wangi parfum itu. Gadis-gadis
itu, mereka berdandan, rambutnya disisir rapi, dan walau tipis tapi
mereka memakai make up. Jelas memperlihatkan bahwa mereka sungguh siap
dengan acara ini. Waktu itu aku sependapat dengan teori bahwa wanita
lebih cepat dewasa daripada pria.
Kami semua dikumpulkan dalam
ruangan luas, di satu rumah orang tua anak Stece. Teman yang jadi
koordinator acara didampingi satu anak Stece. ‘O.. anak ini to, yang
didekatinya,’ batinku. Mereka berusaha membuat kami semua nyaman.
Pertama perkenalan, trus ada sedikit permainan. Masih agak kaku dan
membosankan. Tapi aku sudah mendapatkan beberapa kenalan. Ketegangan
yang kurasakan sudah agak berkurang. Oke.. begini ya rasanya makrab.
Lalu
acara puncak pun digelar. Musik dimainkan, dan beberapa teman yang
sudah mendapatkan pasangan akrab lalu maju ke depan untuk berdansa.
Inilah saatnya. Beberapa teman JB yang dari awal ogah-ogahan, ditambah
waktu permainan tidak mendapat kesenangan, mulai menarik diri, asyik
dengan acaranya sendiri, menghabiskan makanan dan merokok. Aku ingin
ikut mereka, tapi aku malas merokok, dan ada seorang cewek yang dari
awal permainan menarik perhatian.
Dia belum mendapat pasangan.
Masih asyik bercanda dengan teman-temannya. Sering kudengar cerita
tragis temanku ditolak sewaktu mengajak dansa seorang cewek. Tragis
karena jelas penolakan itu diketahui oleh semua anak. Malu jelaslah.
Besok Senin bisa jadi ajang tertawaan. Walau cuma bercanda, namun
penolakan jelas menyakitkan. Apakah aku siap menerima penolakan anak
itu?
Aku bimbang. Dia melihat ke arahku sebentar, cuma sebentar
saja, tapi cukuplah buatku untuk membulatkan tekat. ‘Ah.. terserah, toh
aku sudah sering menerima kegagalan dan rasa sakit sebelumnya, rasanya
to mungkin seperti itu juga.’ Maka aku pun maju.
“Mau berdansa
denganku?” Kudengar aku mengucapkan kata itu. Benarkah itu yang
kuucapkan. Tapi mengapa otomatis aku mengulurkan tangan kanan ke
arahnya?
Dia menengok ke arah temannya, teman-temannya tertawa,
‘Apa yang kalian tertawakan? Aku salah ya? Gawat.’ Aku salah tingkah.
Jantung ini berdetak kencang. ‘Terima saja Ven, besok Senin seluruh
kelas akan tahu kisahmu.’ Suara kecil pasrah bergema di kepala,
tenggerokan ini rasanya tercekat. Tapi tidak, dia mengangguk dan
menerima uluran tanganku. Kulit telapak tangannya halus sekali.
Aku
tidak peduli berapa pasang mata menatap ke arah kami. Kami bergandengan
dan memilih tempat yang agak kosong di pinggir. “Aku tak bisa
berdansa,” kataku. Dia tersenyum saja. Aku pun cuma bisa meringis.
Dansa.
Pernahkah ada pelajaran dansa di JB? Tidak sama sekali tidak. Tidak ada
kursus waltz, salsa, cha-cha, tanggo, samba… atau dansa-dansa romantis
model Eropa yang bisa membuat para Julliet terjatuh dalam pelukan
Romeonya. Trus apa yang kami lakukan waktu acara dansa itu?
Kami
tak memahami teori dansa dan untunglah cewek-cewek itu juga tidak
peduli kami bisa berdansa atau tidak. Maka seperti yang dilakukan
teman-temanku, kedua tanganku memegang pinggangnya. Dia memegang
pundakku. Maka kami pun bergoyang perlahan, melangkahkan kaki ke kiri,
ke kanan mengikuti alunan lagu melankolis. Awalnya terasa sulit dan kaku
tapi kulihat dia juga begitu. Maka kita mencoba bercakap-cakap,
bertanya seadanya, menjawab seadanya, setelah itu diam dan tersenyum
saja. Lebih banyak diamnya.
Aku tidak ingat lagu apa yang
dimainkan. Aku tidak ingat apa yang kita bicarakan. Makin lama gerakan
kami makin selaras dan rasanya menyenangkan. Aku mulai berani menatap
mata lebih dalamnya. Kurasa dia juga merasa nyaman. Gerakan kami semakin
menyatu, rentang jarak kami semakin satu. Bisa kulihat diriku di
bening teduh tatapannya. Entah sudah berapa lagu berganti mengiringi
gerakan kami, kata temanku sudah tiga lagu, tapi bagiku cepat sekali
waktu itu.
Ternyata memang tak butuh teori untuk mengalami
kehidupan. Cukup mengalami saja, cukup berani melangkah saja. Saat kita
berani mengambil resiko dengan berkata, “Maukah berdansa denganku?”
Apapun jawabannya, kita sudah melangkah menjadi para pemenang. Sebab
kita sudah mengalahkan ketakutan kita sendiri.
Anggukan kepala
adalah bonus, sedangkan gelengan kepala dengan senyum kecut adalah
berkah. Apapun jawabannya, itu memacu kita untuk bertindak lebih baik
dan bijak.
Kami, anak JB melewati masa SMA dengan makrab, dansa,
penolakan dan penerimaan. Walau kami tidak mendapatkan teori dansa,
walau kami tidak bisa berdansa. Namun kini kami sedang berdansa dengan
kehidupan ini. Itu yang kami pelajari di JB, untuk berani mengambil
resiko dan siap menerima kemenangan. Kami belajar menyelaraskan gerakan
kami dengan lagu yang diputar sang DJ Agung ini. Kadang kami salah
langkah, kadang kami membuat kekonyolan, kadang kami terpeleset jatuh
dan ditertawakan, tapi kami berusaha menyajikan dansa terbaik yang bisa
kami mainkan.
Sekarang pertanyaanku, dansa apa yang sedang kau mainkan sekarang kawan? Dan apakah kau menikmatinya?
-luv & hug-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar