Senin, 23 Januari 2012

Kisah xJB: KAMI TAK BISA BERDANSA

“Mau ikut makrab malam minggu besok Ven?”

“Haa.. makrab?” sahutku memastikan sebab tadi sedang konsentrasi di komik yang kubaca. Kelas cuma berisi beberapa anak sebab ini waktu istirahat. Tiga teman di depan sedang sibuk mengerjakan PR. Empat Lainnya di pojok kiri belakang baru bercerita tidak jelas. Sedangkan aku duduk di tengah menikmati komik City Hunter pinjaman.

“Iya, malam minggu besok sama anak Stece. Sudah ada 15 yang mau ikut, tinggal lima lagi. Kamu ikutlah, biar pas nanti pasangannya.”

Bagi kami makrab merupakan ajang kenalan ma cewek, sebab sekolah kami isinya cowok semua. Di makrab, kami cowok-cowok SMA Kolese John de Britto, biasa disingkat JB, akan bertemu dengan anak-anak sekolah cewek, bisa dari Stella Duce I (Stece), Stella Duce II (Stero), atau Santa Maria (Stama). Banyak teman mendapatkan pacar dari acara itu, tapi banyak juga cerita tragis yang terjadi.

“Ayo, ikutlah. Sekarang banyak yang manis,” rayu temanku. Semuanya tahu, dia punya program sendiri, dia bersemangat sebab baru PDKT dengan seorang cewek di Stece itu, bisa dipastikan cewek yang didekatinya pasti ikut. “Apa saja nanti acaranya?”

“Biasalah kenalan, nanti ada game-game kecil, dan dansa… dansa Ven…”

Nah, sering kudengar dari itu kisah tragisnya bermula, dari acara dansa.

“Kamu belum pernah ikut to? Siapa tahu nanti dapat cewek disana Ven.”

Maka pada malam minggu itu, aku ikut rombongan topeng monyet mengejar para bidadari. Kami, anak-anak JB berdandan seadanya, namun berusaha keras mandi sebelumnya. Pake kaos dan berusaha tampil trendi walau terlihat grogi. Dalam hati aku mengumpat, ‘Brengsek, kenapa aku akhirnya ikut acara seperti ini, kenapa tadi tidak maen PS saja.’

Inilah kekurangan kami. Sekolah berisi cowok semua menjadikan kami bebas dan nyantai dalam urusan cewek. Di saat teman-temanku di sekolah lain ribut soal cewek, kami di JB tenang-tenang saja. Malam mingguan kami habiskan dengan bermain PS di rental atau nongkrong saja di angkringan. Punya pacar menjadi urusan kesekian. Maka saat kami berhadapan dengan makhluk Tuhan yang cantik itu, kami seperti manusia-manusia gua yang berhadapan dengan para dewi dari Khayangan.

Beberapa teman yang punya tampang, bakat, dan keberanian sudah terlihat santai dan akrab. Sementara lainnya masih bergerombol, melakukan aktivitas yang tidak jelas. Payahnya aku termasuk rombongan kedua. Walau sesekali mata ini melirik ke arah para makhluk yang menebar wangi parfum itu. Gadis-gadis itu, mereka berdandan, rambutnya disisir rapi, dan walau tipis tapi mereka memakai make up. Jelas memperlihatkan bahwa mereka sungguh siap dengan acara ini. Waktu itu aku sependapat dengan teori bahwa wanita lebih cepat dewasa daripada pria.

Kami semua dikumpulkan dalam ruangan luas, di satu rumah orang tua anak Stece. Teman yang jadi koordinator acara didampingi satu anak Stece. ‘O.. anak ini to, yang didekatinya,’ batinku. Mereka berusaha membuat kami semua nyaman. Pertama perkenalan, trus ada sedikit permainan. Masih agak kaku dan membosankan. Tapi aku sudah mendapatkan beberapa kenalan. Ketegangan yang kurasakan sudah agak berkurang. Oke.. begini ya rasanya makrab.

Lalu acara puncak pun digelar. Musik dimainkan, dan beberapa teman yang sudah mendapatkan pasangan akrab lalu maju ke depan untuk berdansa. Inilah saatnya. Beberapa teman JB yang dari awal ogah-ogahan, ditambah waktu permainan tidak mendapat kesenangan, mulai menarik diri, asyik dengan acaranya sendiri, menghabiskan makanan dan merokok. Aku ingin ikut mereka, tapi aku malas merokok, dan ada seorang cewek yang dari awal permainan menarik perhatian.

Dia belum mendapat pasangan. Masih asyik bercanda dengan teman-temannya. Sering kudengar cerita tragis temanku ditolak sewaktu mengajak dansa seorang cewek. Tragis karena jelas penolakan itu diketahui oleh semua anak. Malu jelaslah. Besok Senin bisa jadi ajang tertawaan. Walau cuma bercanda, namun penolakan jelas menyakitkan. Apakah aku siap menerima penolakan anak itu?

Aku bimbang. Dia melihat ke arahku sebentar, cuma sebentar saja, tapi cukuplah buatku untuk membulatkan tekat. ‘Ah.. terserah, toh aku sudah sering menerima kegagalan dan rasa sakit sebelumnya, rasanya to mungkin seperti itu juga.’ Maka aku pun maju.

“Mau berdansa denganku?” Kudengar aku mengucapkan kata itu. Benarkah itu yang kuucapkan. Tapi mengapa otomatis aku mengulurkan tangan kanan ke arahnya?

Dia menengok ke arah temannya, teman-temannya tertawa, ‘Apa yang kalian tertawakan? Aku salah ya? Gawat.’ Aku salah tingkah. Jantung ini berdetak kencang. ‘Terima saja Ven, besok Senin seluruh kelas akan tahu kisahmu.’ Suara kecil pasrah bergema di kepala, tenggerokan ini rasanya tercekat. Tapi tidak, dia mengangguk dan menerima uluran tanganku. Kulit telapak tangannya halus sekali.

Aku tidak peduli berapa pasang mata menatap ke arah kami. Kami bergandengan dan memilih tempat yang agak kosong di pinggir. “Aku tak bisa berdansa,” kataku. Dia tersenyum saja. Aku pun cuma bisa meringis.

Dansa. Pernahkah ada pelajaran dansa di JB? Tidak sama sekali tidak. Tidak ada kursus waltz, salsa, cha-cha, tanggo, samba… atau dansa-dansa romantis model Eropa yang bisa membuat para Julliet terjatuh dalam pelukan Romeonya. Trus apa yang kami lakukan waktu acara dansa itu?

Kami tak memahami teori dansa dan untunglah cewek-cewek itu juga tidak peduli kami bisa berdansa atau tidak. Maka seperti yang dilakukan teman-temanku, kedua tanganku memegang pinggangnya. Dia memegang pundakku. Maka kami pun bergoyang perlahan, melangkahkan kaki ke kiri, ke kanan mengikuti alunan lagu melankolis. Awalnya terasa sulit dan kaku tapi kulihat dia juga begitu. Maka kita mencoba bercakap-cakap, bertanya seadanya, menjawab seadanya, setelah itu diam dan tersenyum saja. Lebih banyak diamnya.

Aku tidak ingat lagu apa yang dimainkan. Aku tidak ingat apa yang kita bicarakan. Makin lama gerakan kami makin selaras dan rasanya menyenangkan. Aku mulai berani menatap mata lebih dalamnya. Kurasa dia juga merasa nyaman. Gerakan kami semakin menyatu, rentang jarak kami semakin satu. Bisa kulihat diriku di bening teduh tatapannya. Entah sudah berapa lagu berganti mengiringi gerakan kami, kata temanku sudah tiga lagu, tapi bagiku cepat sekali waktu itu.

Ternyata memang tak butuh teori untuk mengalami kehidupan. Cukup mengalami saja, cukup berani melangkah saja. Saat kita berani mengambil resiko dengan berkata, “Maukah berdansa denganku?” Apapun jawabannya, kita sudah melangkah menjadi para pemenang. Sebab kita sudah mengalahkan ketakutan kita sendiri.

Anggukan kepala adalah bonus, sedangkan gelengan kepala dengan senyum kecut adalah berkah. Apapun jawabannya, itu memacu kita untuk bertindak lebih baik dan bijak.

Kami, anak JB melewati masa SMA dengan makrab, dansa, penolakan dan penerimaan. Walau kami tidak mendapatkan teori dansa, walau kami tidak bisa berdansa. Namun kini kami sedang berdansa dengan kehidupan ini. Itu yang kami pelajari di JB, untuk berani mengambil resiko dan siap menerima kemenangan. Kami belajar menyelaraskan gerakan kami dengan lagu yang diputar sang DJ Agung ini. Kadang kami salah langkah, kadang kami membuat kekonyolan, kadang kami terpeleset jatuh dan ditertawakan, tapi kami berusaha menyajikan dansa terbaik yang bisa kami mainkan.

Sekarang pertanyaanku, dansa apa yang sedang kau mainkan sekarang kawan? Dan apakah kau menikmatinya?



-luv & hug-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar