Pernah membaca novel berjudul Momo? Kalau kamu, temanku, sudah
menyempatkan waktumu yang berharga hanya untuk membaca catatanku yang
konyol ini, aku berharap kamu juga menyediakan waktu membaca novel bagus
ini.
Novel ini luar biasa. Idenya cemerlang. Kritikan dan
pesannya dibungkus lewat kisah petualangan yang menyenangkan. Imajinatif
dan inspiratif.
Momo karya Michael Ende itu memang cerita
petualangan anak-anak. Namun, seperti setiap cerita anak-anak, justru
kita bisa temukan pesan bijaksana, bekal tuk jalani hidup yang berharga.
Momo
seorang gadis kecil, gelandangan, yang menempati sebuah amfiteater tua.
Stadiun olahraga dan pertunjukan dari jaman Yunani ataupun Romawi kuno.
Berarti Momo tinggal di Italia, atau setidaknya di salah satu kota di
Eropa Selatan sana? Tidak tahu, pengarang tidak menjelaskan secara rinci
Momo tinggal dimana. Bahkan siapa Momo itu pun, kita tidak tahu.
Maksudnya?
Ya... dikisahkan Momo tiba-tiba datang, lalu menempati amfiteater tua
yang tidak terpelihara. Lalu orang-orang sederhana di sekitar bangunan
itu merawatnya dan menyukainya.
Momo berambut kusut, dengan mata
yang besar dan indah berwarna hitam pekat. Pakaiannya jas laki-laki
kebesaran dan celana rok tambal sulam yang panjangnya sampai mata kaki.
Tidak diketahui pasti berapa umurnya, siapa orang tuanya, dari mana
asalnya, bahkan dia mengaku yang menamai dirinya ”Momo” ya dirinya
sendiri. Namun ada satu hal istimewa yang dimiliki Momo. Dia memiliki
bakat luar biasa. Hingga orang-orang yang mengalami masalah sering
berkata, ”Coba cari Momo?”
Apa bakat luar biasa Momo? Apakah Momo
begitu pandai, sehingga mampu memberikan nasihat pada setiap orang?
Apakah ia selalu menemukan kata-kata yang tepat untuk membesarkan hati
orang yang perlu dihibur? Apakah ia mampu mengambil keputusan yang
bijaksana dan adil?
Bukan, bukan itu semua. Momo tidak seperti
itu. Yang bisa dilakukan Momo kecil dengan lebih baik dibandingkan siapa
pun adalah: mendengarkan.
Begitu pandainya Momo mendengarkan
sehingga orang yang semula bingung atau ragu-ragu mendadak tahu persis
apa yang ia inginkan. Orang yang pemalu menjadi bebas dan berani. Orang
yang tidak bahagia dan tertekan pun kembali merasa bahagia dan berbesar
hati. Yang dilakukan Momo hanya duduk mendengarkan orang itu dengan
segenap perhatian dan dengan sepenuh hati.
Memang sederhana namun bisakah kita, aku dan kamu, melakukannya dengan baik?
Itu salah satu mutiara cerita ini. Tentang kemampuan sederhana yang sering kita abaikan.
Apakah
cerita Momo semata hanya berkisah Momo yang setiap hari mendengarkan
keluh kesah? Ah, tentu tidak. Seperti setiap kisah petualangan, Momo
juga mengalami peristiwa luar biasa. Petualangan menghadapi para ”tuan
kelabu” gerombolan pencuri waktu.
”Tuan kelabu” adalah
gerombolan lelaki misterius dari bank waktu yang mengambil waktu setiap
orang, sehingga setiap orang merasa sibuk dan tidak punya waktu. Setiap
hari orang-orang selalu merasa dikejar-kejar waktu. Hingga tidak bisa
lagi menikmati waktu yang tersedia baginya. Hingga hilanglah kepedulian.
Hilanglah kasih sayang dan perhatian. Setelah sisi kemanusiaan itu
hilang, apa yang tersisa bagi manusia?
Ini kritik terhadap
kehidupan kita sekarang kan? Kita seakan-akan dipaksa berlari-lari,
sibuk, terjebak oleh rutinitas, tercekik oleh himpitan tugas, deadline,
target, goal. Lalu sebenarnya buat apa itu semua?
Kalau kamu
sudah menyempatkan waktumu yang berharga hanya untuk membaca noteku ini,
aku berharap kamu juga menyediakan waktumu membaca novel bagus itu. Aku
tidak akan bercerita panjang lebar lagi. Semoga ketika membaca Momo
nanti kebijaksanaanlah yang akan berbisik ke telingamu, dan hatimu
berkenan menyediakan ruang untuk menghidupinya.
Karena kita sebenarnya tahu, waktu adalah kehidupan, dan kehidupan berpusat di hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar