Senin, 23 Januari 2012

Momo

Pernah membaca novel berjudul Momo? Kalau kamu, temanku, sudah menyempatkan waktumu yang berharga hanya untuk membaca catatanku yang konyol ini, aku berharap kamu juga menyediakan waktu membaca novel bagus ini.

Novel ini luar biasa. Idenya cemerlang. Kritikan dan pesannya dibungkus lewat kisah petualangan yang menyenangkan. Imajinatif dan inspiratif.

Momo karya Michael Ende itu memang cerita petualangan anak-anak. Namun, seperti setiap cerita anak-anak, justru kita bisa temukan pesan bijaksana, bekal tuk jalani hidup yang berharga.

Momo seorang gadis kecil, gelandangan, yang menempati sebuah amfiteater tua. Stadiun olahraga dan pertunjukan dari jaman Yunani ataupun Romawi kuno. Berarti Momo tinggal di Italia, atau setidaknya di salah satu kota di Eropa Selatan sana? Tidak tahu, pengarang tidak menjelaskan secara rinci Momo tinggal dimana. Bahkan siapa Momo itu pun, kita tidak tahu.

Maksudnya? Ya... dikisahkan Momo tiba-tiba datang, lalu menempati amfiteater tua yang tidak terpelihara. Lalu orang-orang sederhana di sekitar bangunan itu merawatnya dan menyukainya.

Momo berambut kusut, dengan mata yang besar dan indah berwarna hitam pekat. Pakaiannya jas laki-laki kebesaran dan celana rok tambal sulam yang panjangnya sampai mata kaki. Tidak diketahui pasti berapa umurnya, siapa orang tuanya, dari mana asalnya, bahkan dia mengaku yang menamai dirinya ”Momo” ya dirinya sendiri. Namun ada satu hal istimewa yang dimiliki Momo. Dia memiliki bakat luar biasa. Hingga orang-orang yang mengalami masalah sering berkata, ”Coba cari Momo?”

Apa bakat luar biasa Momo? Apakah Momo begitu pandai, sehingga mampu memberikan nasihat pada setiap orang? Apakah ia selalu menemukan kata-kata yang tepat untuk membesarkan hati orang yang perlu dihibur? Apakah ia mampu mengambil keputusan yang bijaksana dan adil?

Bukan, bukan itu semua. Momo tidak seperti itu. Yang bisa dilakukan Momo kecil dengan lebih baik dibandingkan siapa pun adalah: mendengarkan.

Begitu pandainya Momo mendengarkan sehingga orang yang semula bingung atau ragu-ragu mendadak tahu persis apa yang ia inginkan. Orang yang pemalu menjadi bebas dan berani. Orang yang tidak bahagia dan tertekan pun kembali merasa bahagia dan berbesar hati. Yang dilakukan Momo hanya duduk mendengarkan orang itu dengan segenap perhatian dan dengan sepenuh hati.

Memang sederhana namun bisakah kita, aku dan kamu, melakukannya dengan baik?

Itu salah satu mutiara cerita ini. Tentang kemampuan sederhana yang sering kita abaikan.

Apakah cerita Momo semata hanya berkisah Momo yang setiap hari mendengarkan keluh kesah? Ah, tentu tidak. Seperti setiap kisah petualangan, Momo juga mengalami peristiwa luar biasa. Petualangan menghadapi para ”tuan kelabu” gerombolan pencuri waktu.

”Tuan kelabu” adalah gerombolan lelaki misterius dari bank waktu yang mengambil waktu setiap orang, sehingga setiap orang merasa sibuk dan tidak punya waktu. Setiap hari orang-orang selalu merasa dikejar-kejar waktu. Hingga tidak bisa lagi menikmati waktu yang tersedia baginya. Hingga hilanglah kepedulian. Hilanglah kasih sayang dan perhatian. Setelah sisi kemanusiaan itu hilang, apa yang tersisa bagi manusia?

Ini kritik terhadap kehidupan kita sekarang kan? Kita seakan-akan dipaksa berlari-lari, sibuk, terjebak oleh rutinitas, tercekik oleh himpitan tugas, deadline, target, goal. Lalu sebenarnya buat apa itu semua?

Kalau kamu sudah menyempatkan waktumu yang berharga hanya untuk membaca noteku ini, aku berharap kamu juga menyediakan waktumu membaca novel bagus itu. Aku tidak akan bercerita panjang lebar lagi. Semoga ketika membaca Momo nanti kebijaksanaanlah yang akan berbisik ke telingamu, dan hatimu berkenan menyediakan ruang untuk menghidupinya.

Karena kita sebenarnya tahu, waktu adalah kehidupan, dan kehidupan berpusat di hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar