Membaca Silence karya Shusaku Endo, saya tergoda untuk
membayangkan Yesus yang memilih menyelamatkan nyawa manusia. Gambaran
yang berarti Yesus yang menginjak fumie, Yesus yang dipermalukan, Yesus yang dikalahkan. Tidak bisa saya bayangkan bahwa Yesus akan memuja fumie
gambar wajahnya dibandingkan nyawa manusia. Seperti tidak bisa saya
bayangkan bahwa Yesus akan betah di gereja dan katredral yang megah
sementara di luar masih terjadi ketidakadilan, kelaparan dan budaya
kematian.
Sejarah pengikut Kristus merupakan sejarah penuh tetes
darah, air mata, siksa, dan kematian. Sudah tidak terhitung berapa
banyak umat Kristen yang rela mati mempertahankan imannya. Ada berapakah
gereja yang berdiri kokoh di atas kubur para martirNya. Bisakah kita
kenali satu persatu wajah perempuan, laki-laki, anak-anak, serta orang
tua yang gagah berani mengorbankan dirinya dibakar, disalib, diumpankan
kebinatang buas, disiksa tanpa ampun karena percaya bahwa Yesus adalah
Juru Selamat. Membayangkan kengerian semacam itu, hati ini jadi
bertanya, keselamatan macam apa yang diwartakan Yesus pada kita?
Tuhan
seolah bungkam ketika para pengikutNya yang paling setia meregang nyawa
dan memanggil namaNya. Kita yang belum pernah mengalami siksa dan dera
bisa berkata, “Mereka akan diselamatkan, pintu surga terbuka bagi
mereka.” Itu yang kita percaya. Bukan keselamatan di dunia tapi
keselamatan di kehidupan abadi kelak. Itu yang menyemangati kita
menanggung segala derita di dunia dan tetap percaya pada ajaran Kabar
Gembira. Tapi apakah memang harus dengan penderitaan sepedih itu untuk
mendapatkan hak kita di surga kelak?
Yesus sendiri juga memanggul
salib dengan pedih luka, betapa takutnya Dia, betapa tersiksanya. Sudah
berapa juta orang juga memanggul salib, mengalami derita sebelum
kematian membebaskannya, tapi mengapa kita senantiasa mengenang Lelaki
dari Nazaret itu? Sebab saat memanggul derita salib itu, Yesus tidak
melakukannya semata untuk keselamatan diriNya sendiri, namun untuk kita
dan juga untuk Kemuliaan Allah. Yesus memberi teladan langsung melalui
tindakan, bahwa hidup ini harusnya dibagi-bagi, harusnya dibaktikan
untuk kehidupan dan Sang Pencipta. Seberapa pedihnya, seberapun itu
mengakibatkan kita menderita, dipermalukan, dan dikalahkan.
Surga
tercipta ketika kita mampu berbagi dan berbakti pada kehidupan dan Sang
Pencipta kita. Apa gunanya kita memiliki gereja megah namun kita lupa
akan tanggung jawab kita pada lingkungan tempat kita berada. Apa gunanya
kita mengagungkan salib, patung, dan benda-benda jika kita tidak mampu
memandang ada Tuhan yang menderita di sekitar kita. Tidak bisa saya
bayangkan bahwa Yesus akan betah di gereja dan katredral yang megah
sementara di luar masih terjadi ketidakadilan, kelaparan dan budaya
kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar