Senin, 23 Januari 2012

Jalan Sunyi

Membaca Silence karya Shusaku Endo, saya tergoda untuk membayangkan Yesus yang memilih menyelamatkan nyawa manusia. Gambaran yang berarti Yesus yang menginjak fumie, Yesus yang dipermalukan, Yesus yang dikalahkan. Tidak bisa saya bayangkan bahwa Yesus akan memuja fumie gambar wajahnya dibandingkan nyawa manusia. Seperti tidak bisa saya bayangkan bahwa Yesus akan betah di gereja dan katredral yang megah sementara di luar masih terjadi ketidakadilan, kelaparan dan budaya kematian.

Sejarah pengikut Kristus merupakan sejarah penuh tetes darah, air mata, siksa, dan kematian. Sudah tidak terhitung berapa banyak umat Kristen yang rela mati mempertahankan imannya. Ada berapakah gereja yang berdiri kokoh di atas kubur para martirNya. Bisakah kita kenali satu persatu wajah perempuan, laki-laki, anak-anak, serta orang tua yang gagah berani mengorbankan dirinya dibakar, disalib, diumpankan kebinatang buas, disiksa tanpa ampun karena percaya bahwa Yesus adalah Juru Selamat. Membayangkan kengerian semacam itu, hati ini jadi bertanya, keselamatan macam apa yang diwartakan Yesus pada kita?

Tuhan seolah bungkam ketika para pengikutNya yang paling setia meregang nyawa dan memanggil namaNya. Kita yang belum pernah mengalami siksa dan dera bisa berkata, “Mereka akan diselamatkan, pintu surga terbuka bagi mereka.” Itu yang kita percaya. Bukan keselamatan di dunia tapi keselamatan di kehidupan abadi kelak. Itu yang menyemangati kita menanggung segala derita di dunia dan tetap percaya pada ajaran Kabar Gembira. Tapi apakah memang harus dengan penderitaan sepedih itu untuk mendapatkan hak kita di surga kelak?

Yesus sendiri juga memanggul salib dengan pedih luka, betapa takutnya Dia, betapa tersiksanya. Sudah berapa juta orang juga memanggul salib, mengalami derita sebelum kematian membebaskannya, tapi mengapa kita senantiasa mengenang Lelaki dari Nazaret itu? Sebab saat memanggul derita salib itu, Yesus tidak melakukannya semata untuk keselamatan diriNya sendiri, namun untuk kita dan juga untuk Kemuliaan Allah. Yesus memberi teladan langsung melalui tindakan, bahwa hidup ini harusnya dibagi-bagi, harusnya dibaktikan untuk kehidupan dan Sang Pencipta. Seberapa pedihnya, seberapun itu mengakibatkan kita menderita, dipermalukan, dan dikalahkan.

Surga tercipta ketika kita mampu berbagi dan berbakti pada kehidupan dan Sang Pencipta kita. Apa gunanya kita memiliki gereja megah namun kita lupa akan tanggung jawab kita pada lingkungan tempat kita berada. Apa gunanya kita mengagungkan salib, patung, dan benda-benda jika kita tidak mampu memandang ada Tuhan yang menderita di sekitar kita. Tidak bisa saya bayangkan bahwa Yesus akan betah di gereja dan katredral yang megah sementara di luar masih terjadi ketidakadilan, kelaparan dan budaya kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar