Kita, diakui atau tidak senantiasa menghargai kesetiaan.
Maka
kita pun menghormati Paulo Maldini yang tetap setia membela satu tim
selama karier profesional di dunia sepakbola. Di saat rekan-rekannya
melompat dari satu klub ke klub lainnya, pemain bernomor punggung 3 itu
tetap berada di tim yang membesarkannya. Karier kapten kesebelasan AC
Milan itu memang luar biasa.
Dia adalah salah satu pemain
bertahan terbaik yang pernah ada. Bersamanya "rossoneri” (merah-hitam).
meraih berbagai tropi juara. Bahkan suporter Inter Milan yang merupakan
rival abadi AC Milan pun angkat topi, spanduk bertuliskan “Selama 20
tahun kamu adalah rival sejati kami, tapi selamanya kami menghormatimu”
dibentangkan dalam laga Derby della Madonnina 15 Februari lalu.
Kita, diakui atau tidak senantiasa menghargai kesetiaan.
Bunda
Teresa, ibu yang lembut hati dari Kalkuta itu pernah berujar, “Manusia
dipanggil untuk setia.” Ungkapan yang indah dan sederhana namun
senantiasa sulit untuk terlaksana. Maka kita pun terhenyak ketika
kumpulan surat-surat pribadi Ibu kaum papa itu diungkapkan. Bagaimana
ternyata Bunda bermata lembut itu merasakan kekosongan yang teramat
sangat, tatkala cintanya pada Tuhan tak berbalas. Dia merasa sendiri,
dan Tuhan jauh daripadanya.
Bunda yang renta itu, yang
pelukannya senantiasa mampu memberikan kehangatan dan perhargaan
merasakan malam-malam gelap tak berujung. Kekosongan jiwa yang
menyakitkan, namun dia tegar, dan berusaha tetap bertahan dalam
kesetiaan. Berapa banyak waktu dia habiskan dalam penderitaan itu,
berapa banyak tetes-tetes air mata membasahi pipi keriputnya.
Terbayangkan rasa sakit jika cinta tak berbalas. Terbayang rasa tak
berharga yang harus ditanggungnya.
Apa yang masih bisa dipertahankan jika kesetiaan dibalas dengan penolakan?
Dedikasi
Paulo Maldini luar biasa, dan AC Milan menghargainya juga secara
istimewa. Namun bagaimana jika AC Milan membayarnya seharga guru swasta
di Indonesia? Bagaimana jika manajemen dan suporter AC Milan tidak
menghargai kerja kerasnya? Apakah Maldini bisa setia. Kesetiaan bekerja
jika ada timbal balik yang sepadan.
Kesetiaan hadir jika ada
penghargaan dan pemanusiaan. Itu logika umum yang kita sadari dan akui.
Lalu mengapa Bunda Teresa tetap setia pada Tuhannya walau dia merasa
kekeringan yang nyata di hatinya? Mengapa seseorang bisa begitu setia
menunggu kekasihnya pulang walau dia tahu kekasih itu sedang
berselingkuh di luar sana?
“Dia, aku cintai.”
Jawabannya
itu yang kemudian kudengar, dan lidahku pun kelu untuk bertanya. Mataku
pun terpejam, dan terbayang fragmen yang setiap tahun aku kenang.
Seorang anak manusia memanggul salib ke puncak kalvari. Dia terjatuh
berulang kali. Diinjak berulang kali. Dicemooh. Diludahi. Tapi dia
berjalan dan tetap berjalan, untuk akhirnya mati di salibnya sendiri.
Sendiri.
Apa yang dia lakukan? Tindakannya senantiasa menimbulkan
pertentangan sampai akhir jaman. Namun kita yang mengenangnya juga
mendapat pelajaran tentang kesetiaan.
Dan jika kau bertanya, “Dan bisakah kau setia Ven?”
Aku
hanya ingin memandang matamu dan tersenyum. Aku tidak tahu, aku tidak
tahu. Kisah hidupku belum sampai di puncak kalvari itu. Suatu hari nanti
jika aku diijinkan ke surga dan bertemu denganmu, sahabat perjalananku,
malaikat tanpa sayapku. Di bawah senja biru kemerahan nan hangat, di
saat ribuan burung pulang ke sarang, kita akan duduk di padang rumput
hijau luas. Akan aku jawab pertanyaanmu.
“Kau takut komitmen ya?”
Sungguh aku tertawa. Bagaimana jika aku tidak usah jawab pertanyaan itu dan malam nanti kubuatkan masakan istimewa untukmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar