“Kenapa kamu tidak masuk PBI?” di ruang kecil dan tertata rapi Pak Purba
bertanya kepadaku. Seperti biasa suaranya tenang dan dalam. Sesaat aku
terdiam, apakah Bapaknya Son ini tahu siapa aku? “Karena saya tidak
mempunyai biaya Pak…” jawabku pelan.
“Kan ada beasiswa, kamu bisa
cari beasiswa,” balasnya tanpa memandang diriku karena sedang mencari
formulir pencairan uang kegiatan kemahasiswaan. Ruangan sempit Pembantu
Dekan II FKIP USD, yang mengurusi keuangan terasa semakin sempit. Siang
kampus Universitas Sanata Dharma, Mrican, kegiatan perkuliahan sedang
berjalan. Namun, masih terdengar derai tawa beberapa mahasiswa yang
sedang asyik bergerombol. Sedangkan aku duduk tegak menanti tanda tangan
persetujuan Dosen senior Pendidikan Bahasa Inggris yang terkenal itu.
Ruang di sudut pojok kawasan Fakultas Ekonomi ini memang tidak asing
bagiku, beberapa kali diri ini mewakili mahasiswa prodi, meminta
persetujuan pencairan dana kegiatan kemahasiswaan. Beberapa kali aku
harus berurusan dengan bapak Batak yang senantiasa mampu menumbuhkan
rasa segan dan sungkan itu.
Pembawaannya yang tenang, suaranya
yang berat, sampai penataan ruangan yang rapi membuatku harus duduk
tenang dan sedikit gemetaran.
Sebagai mahasiswa baru, aku
langsung terlibat dalam dinamika kemahasiswaan di kampus. Masuk ke Prodi
Bahasa Indonesia sementara teman-teman berbondong-bondong ke Prodi
Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Ekonomi, Psikologi, Teknik bagiku
merupakan pertaruhan. Harus siap dengan segala resikonya. Bahkan resiko
untuk tidak dipahami teman-teman dekatku sendiri.
Pertanyaan Pak
Purba yang langsung menukik serta bantahan atas alasanku, membuatku
kembali merenungkan pilihan. Mengapa tidak menjadi mahasiswa PBI? Memang
kemampuan berbahasa Inggrisku masih jelek, namun apa penyebab aku tidak
memilih PBI? Apa penyebab aku merasa sulit mempelajari bahasa Inggris?
Apa
penyebab aku cenderung membatasi diriku terhadap kemungkinan
mendapatkan peluang lebih baik? Permenunganku sampai disitu. Selalu ada
pola diri ini memilih untuk tampil biasa saja, apa adanya, tak mencoba
untuk memacu diri melangkah lebih jauh, tak memacu diri untuk
mendapatkan yang lebih baik, tak ingin berusaha sedikit lebih keras
lagi, tak berani menjelajahi potensi yang ada dan tersedia untuk
mendapatkan keajaiban dan tawa.
Bisa jadi masalah latarbelakang
keluargaku, bisa jadi ada kisah di masa kecilku yang telah aku lupa
namun pengaruhnya masih ada, hingga aku cenderung menjadi sosok yang
mengalah dan memilih kalah. Kadang entah sadar atau tidak aku memilih
untuk kalah, bahkan sebelum peperangan dimulai. Seperti mempelajari
ketrampilan berbahasa Inggris. Saat mempelajari bahasa internasional
itu, selalu ada perasaan bahwa aku tidak mampu, aku tidak mampu, ini
sulit sekali, ini tidak berguna bagiku, aku tidak akan bisa
mempelajarinya, dan doaku itu terkabulkan. Sampai saat ini aku
senantiasa tergagap dengan bahasanya Susan Boyle itu.
Alasan
tidak ada biaya yang asal kuucapkan pada Pak Purba itu cuma semu.
Alasannya sebenarnya adalah aku sudah mengibarkan bendera putih bahkan
sebelum masuk ke pertempuran. Kekalahan yang sangat patut disesalkan.
Tak terbayang petualangan yang bakal aku lalui jika aku berani berkata
“Ya” dan maju ke medan laga. Apapun jenis pertempurannya, tentu semuanya
menyajikan pertarungan hidup mati yang mendebarkan. Dan apapun yang
tidak membuatku mati, itu akan membuatku semakin kuat. Semakin kuat dan
semakin hidup.
Jika waktu itu kau bertanya padaku, apa kamu ingin
masuk PBI? Dan memberikan waktu longgar bagi hatiku tuk tenang, bisa
kau tatap mataku dan kau tahu jawabannya "Ya". Ya aku ingin mampu
membaca novel Charles Dickens, Mark Twain, Ernest Hemingway, Conan
Doyle, aku ingin menikmati puisi Robert Frost, Walt Whitman, William
Shakespeare, Oscar Wilde, aku ingin menonton film tanpa terganggu teks
terjemahan, aku ingin bisa berkomunikasi dengan jaringan yang lebih
luas.
Jika sekarang engkau bertanya, jadi engkau kecewa dengan
pilihanmu masuk PBSID Ven? Tidak jawabku. Aku tidak kecewa, aku bangga
dengan PBSID. Kuliah di Pendidikan Bahasa Indonesia membuatku mampu
berdiri sampai saat ini dan sampai akhir nanti. Kuliah di PBSID
membuatku mampu berpikir seperti ini, tidak ada penyesalan sama sekali.
Hal
yang kusayangkan adalah bahwa aku mematikan keajaiban peluang hidup
yang ada hanya gara-gara ketakutan dan kepengecutan bukan karena realita
kenyataan. Sangat patut disesalkan, jika kita hidup dalam bayang-bayang
pemikiran dangkal, tak mampu memandang kesempatan lalu berusaha meraih
apa yang terbaik bagi kita.
Guru-guru merupakan sosok yang telah diletakkan Tuhan dengan sempurna untuk membantu kita menemukan takdir kita sendiri.
Surabaya, 6 Mei 2009
Menanti laga MU v Liverpool
revisi, 8 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar