Senin, 23 Januari 2012

Kenapa Kamu Tidak Masuk PBI?

“Kenapa kamu tidak masuk PBI?” di ruang kecil dan tertata rapi Pak Purba bertanya kepadaku. Seperti biasa suaranya tenang dan dalam. Sesaat aku terdiam, apakah Bapaknya Son ini tahu siapa aku? “Karena saya tidak mempunyai biaya Pak…” jawabku pelan.

“Kan ada beasiswa, kamu bisa cari beasiswa,” balasnya tanpa memandang diriku karena sedang mencari formulir pencairan uang kegiatan kemahasiswaan. Ruangan sempit Pembantu Dekan II FKIP USD, yang mengurusi keuangan terasa semakin sempit. Siang kampus Universitas Sanata Dharma, Mrican, kegiatan perkuliahan sedang berjalan. Namun, masih terdengar derai tawa beberapa mahasiswa yang sedang asyik bergerombol. Sedangkan aku duduk tegak menanti tanda tangan persetujuan Dosen senior Pendidikan Bahasa Inggris yang terkenal itu. Ruang di sudut pojok kawasan Fakultas Ekonomi ini memang tidak asing bagiku, beberapa kali diri ini mewakili mahasiswa prodi, meminta persetujuan pencairan dana kegiatan kemahasiswaan. Beberapa kali aku harus berurusan dengan bapak Batak yang senantiasa mampu menumbuhkan rasa segan dan sungkan itu.

Pembawaannya yang tenang, suaranya yang berat, sampai penataan ruangan yang rapi membuatku harus duduk tenang dan sedikit gemetaran.

Sebagai mahasiswa baru, aku langsung terlibat dalam dinamika kemahasiswaan di kampus. Masuk ke Prodi Bahasa Indonesia sementara teman-teman berbondong-bondong ke Prodi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Ekonomi, Psikologi, Teknik bagiku merupakan pertaruhan. Harus siap dengan segala resikonya. Bahkan resiko untuk tidak dipahami teman-teman dekatku sendiri.

Pertanyaan Pak Purba yang langsung menukik serta bantahan atas alasanku, membuatku kembali merenungkan pilihan. Mengapa tidak menjadi mahasiswa PBI? Memang kemampuan berbahasa Inggrisku masih jelek, namun apa penyebab aku tidak memilih PBI? Apa penyebab aku merasa sulit mempelajari bahasa Inggris?

Apa penyebab aku cenderung membatasi diriku terhadap kemungkinan mendapatkan peluang lebih baik? Permenunganku sampai disitu. Selalu ada pola diri ini memilih untuk tampil biasa saja, apa adanya, tak mencoba untuk memacu diri melangkah lebih jauh, tak memacu diri untuk mendapatkan yang lebih baik, tak ingin berusaha sedikit lebih keras lagi, tak berani menjelajahi potensi yang ada dan tersedia untuk mendapatkan keajaiban dan tawa.

Bisa jadi masalah latarbelakang keluargaku, bisa jadi ada kisah di masa kecilku yang telah aku lupa namun pengaruhnya masih ada, hingga aku cenderung menjadi sosok yang mengalah dan memilih kalah. Kadang entah sadar atau tidak aku memilih untuk kalah, bahkan sebelum peperangan dimulai. Seperti mempelajari ketrampilan berbahasa Inggris. Saat mempelajari bahasa internasional itu, selalu ada perasaan bahwa aku tidak mampu, aku tidak mampu, ini sulit sekali, ini tidak berguna bagiku, aku tidak akan bisa mempelajarinya, dan doaku itu terkabulkan. Sampai saat ini aku senantiasa tergagap dengan bahasanya Susan Boyle itu.

Alasan tidak ada biaya yang asal kuucapkan pada Pak Purba itu cuma semu. Alasannya sebenarnya adalah aku sudah mengibarkan bendera putih bahkan sebelum masuk ke pertempuran. Kekalahan yang sangat patut disesalkan. Tak terbayang petualangan yang bakal aku lalui jika aku berani berkata “Ya” dan maju ke medan laga. Apapun jenis pertempurannya, tentu semuanya menyajikan pertarungan hidup mati yang mendebarkan. Dan apapun yang tidak membuatku mati, itu akan membuatku semakin kuat. Semakin kuat dan semakin hidup.

Jika waktu itu kau bertanya padaku, apa kamu ingin masuk PBI? Dan memberikan waktu longgar bagi hatiku tuk tenang, bisa kau tatap mataku dan kau tahu jawabannya "Ya". Ya aku ingin mampu membaca novel Charles Dickens, Mark Twain, Ernest Hemingway, Conan Doyle, aku ingin menikmati puisi Robert Frost, Walt Whitman, William Shakespeare, Oscar Wilde, aku ingin menonton film tanpa terganggu teks terjemahan, aku ingin bisa berkomunikasi dengan jaringan yang lebih luas.

Jika sekarang engkau bertanya, jadi engkau kecewa dengan pilihanmu masuk PBSID Ven? Tidak jawabku. Aku tidak kecewa, aku bangga dengan PBSID. Kuliah di Pendidikan Bahasa Indonesia membuatku mampu berdiri sampai saat ini dan sampai akhir nanti. Kuliah di PBSID membuatku mampu berpikir seperti ini, tidak ada penyesalan sama sekali.

Hal yang kusayangkan adalah bahwa aku mematikan keajaiban peluang hidup yang ada hanya gara-gara ketakutan dan kepengecutan bukan karena realita kenyataan. Sangat patut disesalkan, jika kita hidup dalam bayang-bayang pemikiran dangkal, tak mampu memandang kesempatan lalu berusaha meraih apa yang terbaik bagi kita.


Guru-guru merupakan sosok yang telah diletakkan Tuhan dengan sempurna untuk membantu kita menemukan takdir kita sendiri.




Surabaya, 6 Mei 2009
Menanti laga MU v Liverpool
revisi, 8 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar