Cinta menghajar temanku habis-habisan. Seperti tentara kalah perang, dia
pulang dengan hati terluka, sorot matanya redup kemerahan ada mendung
pekat yang siap ditumpahkan.
“Yo keluar sebentar,” ajakku supaya
dia mendapatkan udara segar. Cuma mengurung diri di dalam kamar,
mengasihi diri sendiri, menangis semalaman tak baik buat kesehatan.
Maka
kami pun keluar, kalau sedang di Jogja aku bisa mengajaknya nongkrong
di angkringan dekat Kantor Pos Besar, tapi di kota ini aku agak
kesulitan mencari tempat yang ramai tapi tetap memberi privasi pada
kesendirian, dan yang terpenting terjangkau isi di kantong kami. Sambil
berkendara menerobos padatnya lalu lintas Surabaya di waktu malam dia
mulai bercerita. Cerita cinta kuno sebenarnya, namun setiap orang toh
bisa membuatnya jadi dramatis terdengar. Dia jatuh cinta, membangun
impian berdua, lalu kini runtuh tanpa sisa. Gelas kristal mimpi indahnya
hancur berantakan. Dia tak tahu lagi, hatinya pedih kecewa.
Setelah
berputar-putar tanpa tujuan, kami berhenti di depan kebun binatang
Wonokromo, di belakang patung Sura Baya yang legendaris. Ada penjual
STMJ dan kami bisa lesehan sambil menatap bagian belakang patung itu.
Malam tak pernah membuat Surabaya tertidur, kendaraan lalu lalang
seperti kesetanan, menepi dan mencari tempat sunyi seperti ini jadi
suatu kemewahan. Bulan yang hampir purnama seakan tersenyum di langit
tanpa bintang. Mungkin juga dia sedang tersenyum pada kami, dua manusia
asing yang tersesat di rimba bernama Surabaya.
Menatap rembulan
kenapa aku jadi terbayang wajah seseorang di masa silam? Seolah pemilik
wajah manis itu tersenyum, maka aku pun membalas senyumnya, terkenang
kisah yang lama kupendam. Setelah puas memejamkan mata, perlahan kulihat
teman disampingku. Dia masih termenung, menunduk menatap gelas susu
putih panas bercampur telur madu dan jahe. Jelas dia tidak sedang
mengukur kadar gizinya, bisa jadi juga tidak peduli apakah yang
diminumnya itu STMJ atau racun arsenik.
Aku menatap temanku,
berapa kali dia jatuh cinta, berapa kali terluka, berapa kali dia telah
terbangun di malam sunyi dan meratapi nasibnya, namun toh cinta bukan
hitungan angka-angka. Tak ada jaminan bahwa jika semakin banyak angka
yang kita dapatkan, kita akan bisa lulus mudah dari tesnya.
“Eh, Pat Kai itu berapa kali harus bereinkarnasi menjalani siksa cinta?” tiba-tiba terlintas pertanyaan itu.
“Apa?” sahutnya kaget, kembali dari lamunan, “Eh, entahlah.. Kenapa?”
“Tidak apa? Tapi seingatku sampai ratusan ya, sial bener berarti.”
“Sejak
dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir,” hampir bersamaan kami
mengucapkan kata-kata sakti siluman babi itu, lalu kami tertawa pelan.
Pelan dan masam.
Dia masih berduka. Cepat sekali mendung menutup
cahayanya. Mungkin jika tak di luar, dan di kamar saja dia sudah
meneteskan air mata. Seperti perenang yang kehabisan udara, dia
menghisap udara dalam-dalam, mengeluarkan perlahan dari mulutnya.
Matanya terpejam, menahan tetesan hujan. Kedua jemari tangannya memegang
gelas erat-erat, seolah tak ingin yang satu ini terlepas juga dari
genggaman.
“Aku masih menyanyanginya,” bisik temanku. Tak perlu
kutolehkan mukaku, dia berbicara lebih kepada dirinya. “Ya,” itu balasan
yang bisa kuucapkan. Sama-sama dengan intonasi datar.
Rasanya
baru kemarin kulihat temanku ini bercahaya terang. Menerima telepon
dengan muka berseri-seri tak bisa menahan senyum tuk terkembang. Bahkan
dari nada suaranya yang riang kau dapat langsung menduga, dengan siapa
dia sedang bicara. “Aku jatuh cinta, aku jatuh cinta, aku jatuh cinta…”
ujarnya berkali-kali dengan ekspresi bahagia kekanak-kanakan. Aku ikut
tersenyum saja. Tanpa diminta dia tentu akan menceritakan siapa orang
yang bisa menyalakan lentera di hatinya itu. Dan tentu seperti bunga
yang sedang mekar, seperti kijang yang dilepas ke alam, seperti elang
yang baru bisa terbang, dia bahagia luar biasa. Hari-hari penuh warna
dan ceria. Dan aku cukup beruntung dipilihnya tuk mendengarkan siaran
tunda kisah cintanya, langsung dari narasumber pertama.
“Kenapa?”
dia bertanya pelan. Duh, jangan tanya itu deh, suara di kepalaku
protes. Jangan bertanya ‘kenapa?’ pada cerita cinta, akan sulit kita
mencari penjelasan rasionalnya. “Kenapa, kenapa?” balasku bertanya,
sekenanya.
“Kenapa dia tega, kenapa….”
“Kenapa kamu bodoh banget bisa mencintainya…”
“Ya.”
“Ya.”
Datar,
dan kembali ke sunyi. Kuminum kembali STMJ yang kini telah hangat.
Melihat gumpalan-gumpalan madu dalam susu putih itu aku teringat
awan-awan di langit. Awan-awan dan Icarus. Icarus, anak lelaki dalam
mitologi Yunani yang diberi sayap-sayap lilin oleh ayahnya supaya bisa
terbang. Walau sudah mendapatkan peringatan keras jangan terbang
tinggi-tinggi mendekati matahari anak itu tidak peduli. Dia terbang
tinggi karena awan-awan indah sekali, karena cahaya matahari menarik
hati. Dia terbang tinggi sekali sampai sayap-sayap lilinnya terbakar dan
meleleh. Icarus pun jatuh ke bumi. Jangan terbang terlalu tinggi,
jangan bersikap bodoh ketika mencintai.
Tapi temanku ini bukan
Icarus. Sayap-sayap cintanya memang telah terbakar dan dia jatuh
kesakitan. Tapi dia bukan Icarus, putus cinta kali ini tidak akan
membuatnya kalah.
“Aku tidak tahu, duniaku seakan runtuh. Aku
bisa gila Nev, aku bisa gila. Dia segalanya bagiku, aku bersedia
mengorbankan apa saja untuknya. Untuk mendapatkannya. Kenapa akhirnya
seperti ini?”
Bisa jadi setelah ini dia akan melewati malam-malam
yang menyesakkan dada. Terbangun tengah malam karena merasa mengalami
mimpi buruk. Ingin menelepon seseorang tapi tiba-tiba tersadar dia tidak
bisa lagi menghubunginya. Namun ingin sekali mendengarkan suaranya,
ingin mendapatkan kembali perhatiannya, ingin mendapatkan kembali
omelannya, tapi itu sudah tidak bisa. Malam-malam yang menyakitkan. Tapi
jika dia bisa bertahan…
“Aku mencoba menahannya, aku mencoba segalanya, tuk membuatnya bahagia. Kenapa dia pergi juga?”
Bisa
jadi setelah ini dia akan melewati jalan-jalan sunyi. Rasa sepi seperti
tak ada lagi udara, tak ada lagi suara, tak ada lagi siapa-siapa, hanya
dirinya dan kesendiran. Rasanya ingin saja berlari namun kemana, namun
untuk apa, menuju siapa. Tapi jika dia bisa bertahan….
“Aku tidak tahu. Entahlah…”
Aku
ingin bercerita banyak padanya. Ingin kukisahkan kisah-kisah para
pecinta yang senantiasa dikecewakan. Kisah-kisah tragis yang masih
diingat manusia sejak dahulu kala tentang cinta dan air mata. Tapi jika
dia bertahan, jika dia bisa bertahan, dia akan bisa memahami sendiri.
“Katakan
sesuatu Nev, bagaimana caranya aku bisa melewati hari-hariku tanpa dia,
tanpa memikirkan dia. Aku ingin melupakan dia. Adakah alat untuk
menghapus memori kita?”
Aku menggeleng. Kenanganmu ini begitu berharga kawan, jangan kau coba hapus.
“Eh,
ingat lagu kebangsaan orang patah hati tidak? Cake, I will survive?”
Aku berkata dan tersenyum, tiba-tiba terdengar cabikan bas khas di
kepalaku. “At first I was afraid, I was petrified, I kept thinking, I
could never live without you by my side, But then I spent so many
nights, Just thinking how you'd done me wrong, And I grew strong, I
learned how to get along”
Mungkin geli mendengar suara falsku,
mungkin terhibur bahwa dia bukan satu-satunya orang yang pernah patah
hati, temanku tersenyum.
Selama perjalanan pulang, dia
menggumamkan I will survive. Tentu dengan nada yang masih sepi, tapi itu
sudah cukup bagus terdengar. Dia akan baik-baik saja.
“Kalau ada apa-apa kamu tahu nomorku kan?” Kataku setelah sampai di depan rumahnya.
Dia menganguk, “Trims ya,” ujarnya.
“Tapi kalau cuma minta diantar ke belakang ndak sah hubungi aku.”
“Sialan.”
Aku terkekeh, “Aku pulang.”
“Trims, hati-hati di jalan. Kabari kalau kamu sudah sampai kos.”
Aku
mengangguk, dan segera berjalan. Dia akan baik-baik saja. Dia akan
hidup dengan kenangan yang menyakitkan soal cinta dan pengorbanan, tapi
itu tidak apa-apa. Jika dia bisa bertahan dan mengolah itu jadi
pengalaman mendewasakan dan tak ingin melupakannya, dia akan jadi lebih
kuat dari sebelumnya. Menjadi dewasa, seperti proses lepas dari
kepompong, proses menyakitkan yang harus kita alami sendiri, membantu
kupu-kupu keluar dari kepompongnya justru akan membuat sayapnya
terkembang tak sempurna. Kurasa biarlah temanku itu membalut lukanya
sendiri, dan cukuplah dia tahu, dia tak berjalan sendiri.
Kunikmati
cahaya-cahaya lampu kota Surabaya, bulan sudah semakin jauh di langit
sunyi. Tapi hidup ini indah, kita hanya perlu belajar memaafkan bukan
melupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar