Senin, 23 Januari 2012

Cinta Menghajar Temanku Habis-habisan

Cinta menghajar temanku habis-habisan. Seperti tentara kalah perang, dia pulang dengan hati terluka, sorot matanya redup kemerahan ada mendung pekat yang siap ditumpahkan.

“Yo keluar sebentar,” ajakku supaya dia mendapatkan udara segar. Cuma mengurung diri di dalam kamar, mengasihi diri sendiri, menangis semalaman tak baik buat kesehatan.

Maka kami pun keluar, kalau sedang di Jogja aku bisa mengajaknya nongkrong di angkringan dekat Kantor Pos Besar, tapi di kota ini aku agak kesulitan mencari tempat yang ramai tapi tetap memberi privasi pada kesendirian, dan yang terpenting terjangkau isi di kantong kami. Sambil berkendara menerobos padatnya lalu lintas Surabaya di waktu malam dia mulai bercerita. Cerita cinta kuno sebenarnya, namun setiap orang toh bisa membuatnya jadi dramatis terdengar. Dia jatuh cinta, membangun impian berdua, lalu kini runtuh tanpa sisa. Gelas kristal mimpi indahnya hancur berantakan. Dia tak tahu lagi, hatinya pedih kecewa.

Setelah berputar-putar tanpa tujuan, kami berhenti di depan kebun binatang Wonokromo, di belakang patung Sura Baya yang legendaris. Ada penjual STMJ dan kami bisa lesehan sambil menatap bagian belakang patung itu. Malam tak pernah membuat Surabaya tertidur, kendaraan lalu lalang seperti kesetanan, menepi dan mencari tempat sunyi seperti ini jadi suatu kemewahan. Bulan yang hampir purnama seakan tersenyum di langit tanpa bintang. Mungkin juga dia sedang tersenyum pada kami, dua manusia asing yang tersesat di rimba bernama Surabaya.

Menatap rembulan kenapa aku jadi terbayang wajah seseorang di masa silam? Seolah pemilik wajah manis itu tersenyum, maka aku pun membalas senyumnya, terkenang kisah yang lama kupendam. Setelah puas memejamkan mata, perlahan kulihat teman disampingku. Dia masih termenung, menunduk menatap gelas susu putih panas bercampur telur madu dan jahe. Jelas dia tidak sedang mengukur kadar gizinya, bisa jadi juga tidak peduli apakah yang diminumnya itu STMJ atau racun arsenik.

Aku menatap temanku, berapa kali dia jatuh cinta, berapa kali terluka, berapa kali dia telah terbangun di malam sunyi dan meratapi nasibnya, namun toh cinta bukan hitungan angka-angka. Tak ada jaminan bahwa jika semakin banyak angka yang kita dapatkan, kita akan bisa lulus mudah dari tesnya.

“Eh, Pat Kai itu berapa kali harus bereinkarnasi menjalani siksa cinta?” tiba-tiba terlintas pertanyaan itu.

“Apa?” sahutnya kaget, kembali dari lamunan, “Eh, entahlah.. Kenapa?”

“Tidak apa? Tapi seingatku sampai ratusan ya, sial bener berarti.”

“Sejak dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir,” hampir bersamaan kami mengucapkan kata-kata sakti siluman babi itu, lalu kami tertawa pelan. Pelan dan masam.

Dia masih berduka. Cepat sekali mendung menutup cahayanya. Mungkin jika tak di luar, dan di kamar saja dia sudah meneteskan air mata. Seperti perenang yang kehabisan udara, dia menghisap udara dalam-dalam, mengeluarkan perlahan dari mulutnya. Matanya terpejam, menahan tetesan hujan. Kedua jemari tangannya memegang gelas erat-erat, seolah tak ingin yang satu ini terlepas juga dari genggaman.

“Aku masih menyanyanginya,” bisik temanku. Tak perlu kutolehkan mukaku, dia berbicara lebih kepada dirinya. “Ya,” itu balasan yang bisa kuucapkan. Sama-sama dengan intonasi datar.

Rasanya baru kemarin kulihat temanku ini bercahaya terang. Menerima telepon dengan muka berseri-seri tak bisa menahan senyum tuk terkembang. Bahkan dari nada suaranya yang riang kau dapat langsung menduga, dengan siapa dia sedang bicara. “Aku jatuh cinta, aku jatuh cinta, aku jatuh cinta…” ujarnya berkali-kali dengan ekspresi bahagia kekanak-kanakan. Aku ikut tersenyum saja. Tanpa diminta dia tentu akan menceritakan siapa orang yang bisa menyalakan lentera di hatinya itu. Dan tentu seperti bunga yang sedang mekar, seperti kijang yang dilepas ke alam, seperti elang yang baru bisa terbang, dia bahagia luar biasa. Hari-hari penuh warna dan ceria. Dan aku cukup beruntung dipilihnya tuk mendengarkan siaran tunda kisah cintanya, langsung dari narasumber pertama.

“Kenapa?” dia bertanya pelan. Duh, jangan tanya itu deh, suara di kepalaku protes. Jangan bertanya ‘kenapa?’ pada cerita cinta, akan sulit kita mencari penjelasan rasionalnya. “Kenapa, kenapa?” balasku bertanya, sekenanya.

“Kenapa dia tega, kenapa….”

“Kenapa kamu bodoh banget bisa mencintainya…”

“Ya.”

“Ya.”

Datar, dan kembali ke sunyi. Kuminum kembali STMJ yang kini telah hangat. Melihat gumpalan-gumpalan madu dalam susu putih itu aku teringat awan-awan di langit. Awan-awan dan Icarus. Icarus, anak lelaki dalam mitologi Yunani yang diberi sayap-sayap lilin oleh ayahnya supaya bisa terbang. Walau sudah mendapatkan peringatan keras jangan terbang tinggi-tinggi mendekati matahari anak itu tidak peduli. Dia terbang tinggi karena awan-awan indah sekali, karena cahaya matahari menarik hati. Dia terbang tinggi sekali sampai sayap-sayap lilinnya terbakar dan meleleh. Icarus pun jatuh ke bumi. Jangan terbang terlalu tinggi, jangan bersikap bodoh ketika mencintai.

Tapi temanku ini bukan Icarus. Sayap-sayap cintanya memang telah terbakar dan dia jatuh kesakitan. Tapi dia bukan Icarus, putus cinta kali ini tidak akan membuatnya kalah.

“Aku tidak tahu, duniaku seakan runtuh. Aku bisa gila Nev, aku bisa gila. Dia segalanya bagiku, aku bersedia mengorbankan apa saja untuknya. Untuk mendapatkannya. Kenapa akhirnya seperti ini?”

Bisa jadi setelah ini dia akan melewati malam-malam yang menyesakkan dada. Terbangun tengah malam karena merasa mengalami mimpi buruk. Ingin menelepon seseorang tapi tiba-tiba tersadar dia tidak bisa lagi menghubunginya. Namun ingin sekali mendengarkan suaranya, ingin mendapatkan kembali perhatiannya, ingin mendapatkan kembali omelannya, tapi itu sudah tidak bisa. Malam-malam yang menyakitkan. Tapi jika dia bisa bertahan…

“Aku mencoba menahannya, aku mencoba segalanya, tuk membuatnya bahagia. Kenapa dia pergi juga?”
Bisa jadi setelah ini dia akan melewati jalan-jalan sunyi. Rasa sepi seperti tak ada lagi udara, tak ada lagi suara, tak ada lagi siapa-siapa, hanya dirinya dan kesendiran. Rasanya ingin saja berlari namun kemana, namun untuk apa, menuju siapa. Tapi jika dia bisa bertahan….

“Aku tidak tahu. Entahlah…”

Aku ingin bercerita banyak padanya. Ingin kukisahkan kisah-kisah para pecinta yang senantiasa dikecewakan. Kisah-kisah tragis yang masih diingat manusia sejak dahulu kala tentang cinta dan air mata. Tapi jika dia bertahan, jika dia bisa bertahan, dia akan bisa memahami sendiri.

“Katakan sesuatu Nev, bagaimana caranya aku bisa melewati hari-hariku tanpa dia, tanpa memikirkan dia. Aku ingin melupakan dia. Adakah alat untuk menghapus memori kita?”

Aku menggeleng. Kenanganmu ini begitu berharga kawan, jangan kau coba hapus.

“Eh, ingat lagu kebangsaan orang patah hati tidak? Cake, I will survive?” Aku berkata dan tersenyum, tiba-tiba terdengar cabikan bas khas di kepalaku. “At first I was afraid, I was petrified, I kept thinking, I could never live without you by my side, But then I spent so many nights, Just thinking how you'd done me wrong, And I grew strong, I learned how to get along”

Mungkin geli mendengar suara falsku, mungkin terhibur bahwa dia bukan satu-satunya orang yang pernah patah hati, temanku tersenyum.

Selama perjalanan pulang, dia menggumamkan I will survive. Tentu dengan nada yang masih sepi, tapi itu sudah cukup bagus terdengar. Dia akan baik-baik saja.

“Kalau ada apa-apa kamu tahu nomorku kan?” Kataku setelah sampai di depan rumahnya.

Dia menganguk, “Trims ya,” ujarnya.

“Tapi kalau cuma minta diantar ke belakang ndak sah hubungi aku.”

“Sialan.”

Aku terkekeh, “Aku pulang.”

“Trims, hati-hati di jalan. Kabari kalau kamu sudah sampai kos.”

Aku mengangguk, dan segera berjalan. Dia akan baik-baik saja. Dia akan hidup dengan kenangan yang menyakitkan soal cinta dan pengorbanan, tapi itu tidak apa-apa. Jika dia bisa bertahan dan mengolah itu jadi pengalaman mendewasakan dan tak ingin melupakannya, dia akan jadi lebih kuat dari sebelumnya. Menjadi dewasa, seperti proses lepas dari kepompong, proses menyakitkan yang harus kita alami sendiri, membantu kupu-kupu keluar dari kepompongnya justru akan membuat sayapnya terkembang tak sempurna. Kurasa biarlah temanku itu membalut lukanya sendiri, dan cukuplah dia tahu, dia tak berjalan sendiri.

Kunikmati cahaya-cahaya lampu kota Surabaya, bulan sudah semakin jauh di langit sunyi. Tapi hidup ini indah, kita hanya perlu belajar memaafkan bukan melupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar