Seakan hidup, patung kertas dan kayu raksasa-raksasa itu menari-nari.
Wajahnya garang, rambutnya jalang, matanya melotot tajam. Semuanya
menyeramkan. Semua bergerak-gerak bagai kesetanan. Ada buto ijo, ada
buto cakil, ada wewe gombel. Ditingkahi tetabuhan gamelan, teriakan
orang-orang, dan jeritan tangis anak-anak ketakutan. Malam menjadi
semarak dan menegangkan. Seolah mereka menari-nari sepanjang jalan.
Mereka diarak, diangkat orang-orang. Berputar-putar di perempatan jalan,
memanggil roh-roh jahat supaya berkumpul di tubuh kertasnya.
Dalam
memori masa kecilku, imaji yang terkumpul adalah perayaan yang
menyenangkan sekaligus menakutkan. Sensasi yang memancing adrenalin dan
detak jatung kencang tatkala buto-buto itu seolah mengejarku. Ogoh-ogoh
namanya, perwujudan buto kala. Apapun penampilannya, apapun bentuknya
tetap menawan dan menakutkan.
Tingginya bisa dua meter bahkan
lebih, badannya besar, tangannya panjang berpose seperti leak, merentang
dengan kuku-kuku panjang. Patung kertas yang terbuat dari rangka kayu
dan bambu dirakit oleh tangan-tangan terampil itu seolah hidup. Mukanya
yang dari topeng raksasa selalu melotot, hidungnya selalu besar, giginya
runcing bertaring. Rambutnya terbuat dari ijuk, gondrong, semrawut,
gimbal. Tubuhnya kadang diberi baju, kadang dibiarkan telanjang bercat
merah darah atau hitam, berselendang kain kotak-kotak hitam putih.
Ogoh-ogoh adalah simbol roh jahat, tapi di tangan seniman dia seolah
hidup dan selalu indah.
Saat malam nyepi tiba, kampung kecilku
selalu penuh ramai. Ini perayaan. Orang-orang Hindu berdoa di Candi
Prambanan sore harinya, dan malam harinya mereka berkumpul di Pura Jagad
Nata, di kampungku. Ini perayaan yang kami tunggu. Tetanggaku yang
beragama Hindu dan para pendatang dari Bali selalu berpakaian rapi. Para
lelaki tampak gagah dengan kemeja putihnya, dan iket di kepala.
Wanita-wanitanya selalu cantik, dengan baju kebaya bali putih, dan
kemben dan jarik yang membuat mereka berjalan pelan, anggun dan menawan.
Memori
masa kecilku adalah memori yang penuh imaji. Ogoh-ogoh yang dijunjung
para lelaki perkasa itu tidak benar-benar hidup. Mereka
digerak-gerakkan, digoyang-goyangkan, dan diputar-putar supaya seolah
hidup. Berjalan dengan riuh dan ribut untuk memancing roh-roh jahat
mendekat, dan masuk ke tubuhnya. Untuk akhirnya dibakar. Ya dibakar
menjadi api yang membumbung tinggi di langit malam tanpa rembulan di
malam nyepi.
Api yang membakar ogoh-ogoh itu turut membakar
semua roh jahat. Lalu menjadi asap, abu dan debu. Lalu nyepi pun
dimulai. Orang-orang Bali itu akan kembali ke rumah. Melaksanakan puasa
nyepi. amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau
menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak
bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan).
Nyepi. Bukankah kita juga membutuhkannya saat ini?
Saat
setiap hari kita dihajar pekerjaan, dianiyaya teknologi informasi gosip
dan berita basi, dan diperkosa keinginan untuk eksis dan narsis. Apa
yang kita cari sebenarnya?
Bisakah kita diam sejenak untuk
berhenti berlari-lari seperti ini. Bisakah kita cuma diam saja, tidak
melakukan apa-apa, dan cuma mendengarkan suara hati kita. Suara lirih
yang bertanya, apa yang kau cari sebenarnya sayang?
Kapal tanpa
tujuan akhirnya akan karam. Pernahkah engkau tepikan sebentar kapal
hidupmu dan mulai melihat jejak-jejak langkahmu yang lalu, pencapaianmu,
kegagalanmu. Lalu beranikah engkau melihat pantai yang kau singgahi
saat ini dan bersiap untuk melaju lagi dengan energi yang baru, energi
yang lebih murni, lebih suci, lebih berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar