Senin, 23 Januari 2012

Nyepi, dan hati ini butuh menepi

Seakan hidup, patung kertas dan kayu raksasa-raksasa itu menari-nari. Wajahnya garang, rambutnya jalang, matanya melotot tajam. Semuanya menyeramkan. Semua bergerak-gerak bagai kesetanan. Ada buto ijo, ada buto cakil, ada wewe gombel. Ditingkahi tetabuhan gamelan, teriakan orang-orang, dan jeritan tangis anak-anak ketakutan. Malam menjadi semarak dan menegangkan. Seolah mereka menari-nari sepanjang jalan. Mereka diarak, diangkat orang-orang. Berputar-putar di perempatan jalan, memanggil roh-roh jahat supaya berkumpul di tubuh kertasnya.

Dalam memori masa kecilku, imaji yang terkumpul adalah perayaan yang menyenangkan sekaligus menakutkan. Sensasi yang memancing adrenalin dan detak jatung kencang tatkala buto-buto itu seolah mengejarku. Ogoh-ogoh namanya, perwujudan buto kala. Apapun penampilannya, apapun bentuknya tetap menawan dan menakutkan.

Tingginya bisa dua meter bahkan lebih, badannya besar, tangannya panjang berpose seperti leak, merentang dengan kuku-kuku panjang. Patung kertas yang terbuat dari rangka kayu dan bambu dirakit oleh tangan-tangan terampil itu seolah hidup. Mukanya yang dari topeng raksasa selalu melotot, hidungnya selalu besar, giginya runcing bertaring. Rambutnya terbuat dari ijuk, gondrong, semrawut, gimbal. Tubuhnya kadang diberi baju, kadang dibiarkan telanjang bercat merah darah atau hitam, berselendang kain kotak-kotak hitam putih. Ogoh-ogoh adalah simbol roh jahat, tapi di tangan seniman dia seolah hidup dan selalu indah.

Saat malam nyepi tiba, kampung kecilku selalu penuh ramai. Ini perayaan. Orang-orang Hindu berdoa di Candi Prambanan sore harinya, dan malam harinya mereka berkumpul di Pura Jagad Nata, di kampungku. Ini perayaan yang kami tunggu. Tetanggaku yang beragama Hindu dan para pendatang dari Bali selalu berpakaian rapi. Para lelaki tampak gagah dengan kemeja putihnya, dan iket di kepala. Wanita-wanitanya selalu cantik, dengan baju kebaya bali putih, dan kemben dan jarik yang membuat mereka berjalan pelan, anggun dan menawan.

Memori masa kecilku adalah memori yang penuh imaji. Ogoh-ogoh yang dijunjung para lelaki perkasa itu tidak benar-benar hidup. Mereka digerak-gerakkan, digoyang-goyangkan, dan diputar-putar supaya seolah hidup. Berjalan dengan riuh dan ribut untuk memancing roh-roh jahat mendekat, dan masuk ke tubuhnya. Untuk akhirnya dibakar. Ya dibakar menjadi api yang membumbung tinggi di langit malam tanpa rembulan di malam nyepi.

Api yang membakar ogoh-ogoh itu turut membakar semua roh jahat. Lalu menjadi asap, abu dan debu. Lalu nyepi pun dimulai. Orang-orang Bali itu akan kembali ke rumah. Melaksanakan puasa nyepi. amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan).

Nyepi. Bukankah kita juga membutuhkannya saat ini?

Saat setiap hari kita dihajar pekerjaan, dianiyaya teknologi informasi gosip dan berita basi, dan diperkosa keinginan untuk eksis dan narsis. Apa yang kita cari sebenarnya?

Bisakah kita diam sejenak untuk berhenti berlari-lari seperti ini. Bisakah kita cuma diam saja, tidak melakukan apa-apa, dan cuma mendengarkan suara hati kita. Suara lirih yang bertanya, apa yang kau cari sebenarnya sayang?

Kapal tanpa tujuan akhirnya akan karam. Pernahkah engkau tepikan sebentar kapal hidupmu dan mulai melihat jejak-jejak langkahmu yang lalu, pencapaianmu, kegagalanmu. Lalu beranikah engkau melihat pantai yang kau singgahi saat ini dan bersiap untuk melaju lagi dengan energi yang baru, energi yang lebih murni, lebih suci, lebih berarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar