Adakah seorang guru yang mengajar Anda dalam pokok bahasan makna
kehidupan? Dengan topik yang diperbincangkan seperti cinta, kerja,
keluarga, menjadi tua, memaafkan, dan akhirnya kematian. Adakah guru
yang mengatakan pada Anda bahwa ada yang salah dengan budaya yang dianut
masyarakat, dan mengajak Anda untuk menciptakan budaya sendiri? Budaya
yang penuh cinta kasih, kearifan, pelukan, tawa dan kelembutan.
Betapa
hidup yang singkat ini sering berlari tanpa makna tujuan. Setiap hari
manusia bangun pagi dan bekerja keras, mengumpulkan harta untuk membeli
bermacam perkakas yang nyatanya tak bisa menyelamatkannya dari rasa
kesepian apalagi kematian.
Seberapa keras manusia mencoba
menolak realitas adanya kematian, nyatanya dirinya merupakan bagian dari
alam. Di alam, apa pun yang dilahirkan pada akhirnya akan mati. Namun
dengan lembut, guru tersebut berkata, “Kematian mengakhiri hidup, tetapi
tidak mengakhiri suatu hubungan.”
Karena itu guru tersebut
mengajarkan kepada Anda bagaimana seharusnya kita memandang sesama dan
diri kita sendiri. “Andaikata kita memandang semua orang lain sebagai
sesama, kita mungkin akan berhasrat sekali untuk bergabung dalam sebuah
keluarga besar umat manusia di seluruh dunia, dan akan sayang kepada
keluarga itu sebagaimana kita sayang kepada keluarga sendiri.” ujarnya.
“Tapi
percayalah, ketika kita menjelang ajal, kita akan membuktikan bahwa itu
betul. Kita semua mempunyai awal yang sama, kelahiran, dan kita semua
mempunyai akhir yang sama, kematian. Jadi, apakah yang berbeda?” Tidak
ada bedanya. Apapun warna kulit Anda akhirnya akan jadi debu juga.
Kematian
itu nyata, maka guru tersebut ingin mengajari Anda bagaimana seharusnya
Anda memiliki kearifan hidup. Bagi guru itu kepuasan Anda ketika meraih
sebuah mobil baru, sebidang tanah baru, mainan baru tidaklah berharga.
“Kau tahu bagaimana aku menafsirkan semua itu?” kata sang guru, “Yang
sangat didambakan oleh orang-orang ini pada dasarnya adalah kasih sayang
namun karena tidak mendapatkannya, mereka mencari gantinya dalam
bentuk-bentuk lain. Mereka mengikatkan diri pada harta benda dan
mengharapkan semacam kepuasan dari situ. Akan tetapi usaha mereka tidak
akan berhasil. Kita tidak dapat menukar cinta, kelembutan, keramahan,
atau rasa persahabatan dengan harta benda.”
“Harta tidak pernah
dapat menggantikan kasih sayang, begitu pula kekuasaan. Aku dapat
berkata begini kepadamu, karena sebentar lagi aku akan mati, dan yang
paling aku butuhkan adalah cinta, bukan uang, bukan kekuasaan,” Ya, guru
itu akan segera mati, kuliahnya yang terakhir ini berpusat pada
kematiannya sendiri. Penyakit Lou Gehrig atau Amyotrophic lateral
sclerosis (ALS) telah menyerang sistem sarafnya. Vonis mati tinggal
beberapa hari. Namun, dalam rasa sakit yang teramat menyiksa, guru
tersebut bertekad membagi kebijaksanaan hidup agar muridnya dapat
menjalani hidup dengan puas dan bermakna.
“Tahukah kau apa yang
sesungguhnya membuat kita merasa puas?” dan jika Anda bertanya ‘apa?’,
sang guru akan berucap, “Menawarkan sesuatu yang sudah semestinya kita
berikan. Yang kumaksud adalah waktu. Kepedulian. Kesediaan bercerita.
Semuanya tidak terlalu sulit… beginilah cara kita untuk mulai
mendapatkan rasa hormat dari orang lain, yakni dengan menawarkan sesuatu
yang kita miliki.”
“Hanya dengan hati terbuka kau akan diterima dan diakui semua orang.”
“Ingat
yang pernah kukatakan tentang mencari makna hidup? Aku telah
mencatatnya, maka aku dapat mengulangnya sekarang: abdikan dirimu untuk
mencintai sesama, abdikan dirimu kepada masyarakat sekitar, dan abdikan
dirimu untuk menciptakan sesuatu yang mempunyai tujuan dan makna
bagimu.” Dan hidup sang guru sendiri telah menjadi teladan bagaimana dia
bersedia mengabdi dan senantiasa mampu memberikan waktu dan cinta pada
orang-orang sekitarnya.
“Selama kita dapat saling mencintai, dan
mengingat rasa cinta yang kita miliki, kematian tidak dapat membuat
kita harus berpisah.” bisik guru itu dengan lemah, “Semua kasih yang
kita berikan akan tetap ada. Semua kenangan tentang itu masih ada. Kita
akan tetap hidup terus-dalam hati siapapun yang pernah kita sentuh
dengan kasih sayang.”
Guru itu kini telah dimakamkan di sebuah
bukit di bawah pohon menghadap danau tenang, dipusaranya tertulis "guru
sepanjang hayat". Dia bernama Morrie Schwartz, seorang profesor dari
Brandeis University, di kota Waltham, Massachusetts. Anda bisa bertemu
dengannya di buku Tuesdays with Morrie, karya Mitch Albom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar