Senin, 23 Januari 2012

Morrie

Adakah seorang guru yang mengajar Anda dalam pokok bahasan makna kehidupan? Dengan topik yang diperbincangkan seperti cinta, kerja, keluarga, menjadi tua, memaafkan, dan akhirnya kematian. Adakah guru yang mengatakan pada Anda bahwa ada yang salah dengan budaya yang dianut masyarakat, dan mengajak Anda untuk menciptakan budaya sendiri? Budaya yang penuh cinta kasih, kearifan, pelukan, tawa dan kelembutan.

Betapa hidup yang singkat ini sering berlari tanpa makna tujuan. Setiap hari manusia bangun pagi dan bekerja keras, mengumpulkan harta untuk membeli bermacam perkakas yang nyatanya tak bisa menyelamatkannya dari rasa kesepian apalagi kematian.

Seberapa keras manusia mencoba menolak realitas adanya kematian, nyatanya dirinya merupakan bagian dari alam. Di alam, apa pun yang dilahirkan pada akhirnya akan mati. Namun dengan lembut, guru tersebut berkata, “Kematian mengakhiri hidup, tetapi tidak mengakhiri suatu hubungan.”

Karena itu guru tersebut mengajarkan kepada Anda bagaimana seharusnya kita memandang sesama dan diri kita sendiri. “Andaikata kita memandang semua orang lain sebagai sesama, kita mungkin akan berhasrat sekali untuk bergabung dalam sebuah keluarga besar umat manusia di seluruh dunia, dan akan sayang kepada keluarga itu sebagaimana kita sayang kepada keluarga sendiri.” ujarnya.

“Tapi percayalah, ketika kita menjelang ajal, kita akan membuktikan bahwa itu betul. Kita semua mempunyai awal yang sama, kelahiran, dan kita semua mempunyai akhir yang sama, kematian. Jadi, apakah yang berbeda?” Tidak ada bedanya. Apapun warna kulit Anda akhirnya akan jadi debu juga.

Kematian itu nyata, maka guru tersebut ingin mengajari Anda bagaimana seharusnya Anda memiliki kearifan hidup. Bagi guru itu kepuasan Anda ketika meraih sebuah mobil baru, sebidang tanah baru, mainan baru tidaklah berharga. “Kau tahu bagaimana aku menafsirkan semua itu?” kata sang guru, “Yang sangat didambakan oleh orang-orang ini pada dasarnya adalah kasih sayang namun karena tidak mendapatkannya, mereka mencari gantinya dalam bentuk-bentuk lain. Mereka mengikatkan diri pada harta benda dan mengharapkan semacam kepuasan dari situ. Akan tetapi usaha mereka tidak akan berhasil. Kita tidak dapat menukar cinta, kelembutan, keramahan, atau rasa persahabatan dengan harta benda.”

“Harta tidak pernah dapat menggantikan kasih sayang, begitu pula kekuasaan. Aku dapat berkata begini kepadamu, karena sebentar lagi aku akan mati, dan yang paling aku butuhkan adalah cinta, bukan uang, bukan kekuasaan,” Ya, guru itu akan segera mati, kuliahnya yang terakhir ini berpusat pada kematiannya sendiri. Penyakit Lou Gehrig atau Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) telah menyerang sistem sarafnya. Vonis mati tinggal beberapa hari. Namun, dalam rasa sakit yang teramat menyiksa, guru tersebut bertekad membagi kebijaksanaan hidup agar muridnya dapat menjalani hidup dengan puas dan bermakna.

“Tahukah kau apa yang sesungguhnya membuat kita merasa puas?” dan jika Anda bertanya ‘apa?’, sang guru akan berucap, “Menawarkan sesuatu yang sudah semestinya kita berikan. Yang kumaksud adalah waktu. Kepedulian. Kesediaan bercerita. Semuanya tidak terlalu sulit… beginilah cara kita untuk mulai mendapatkan rasa hormat dari orang lain, yakni dengan menawarkan sesuatu yang kita miliki.”

“Hanya dengan hati terbuka kau akan diterima dan diakui semua orang.”

“Ingat yang pernah kukatakan tentang mencari makna hidup? Aku telah mencatatnya, maka aku dapat mengulangnya sekarang: abdikan dirimu untuk mencintai sesama, abdikan dirimu kepada masyarakat sekitar, dan abdikan dirimu untuk menciptakan sesuatu yang mempunyai tujuan dan makna bagimu.” Dan hidup sang guru sendiri telah menjadi teladan bagaimana dia bersedia mengabdi dan senantiasa mampu memberikan waktu dan cinta pada orang-orang sekitarnya.

“Selama kita dapat saling mencintai, dan mengingat rasa cinta yang kita miliki, kematian tidak dapat membuat kita harus berpisah.” bisik guru itu dengan lemah, “Semua kasih yang kita berikan akan tetap ada. Semua kenangan tentang itu masih ada. Kita akan tetap hidup terus-dalam hati siapapun yang pernah kita sentuh dengan kasih sayang.”

Guru itu kini telah dimakamkan di sebuah bukit di bawah pohon menghadap danau tenang, dipusaranya tertulis "guru sepanjang hayat". Dia bernama Morrie Schwartz, seorang profesor dari Brandeis University, di kota Waltham, Massachusetts. Anda bisa bertemu dengannya di buku Tuesdays with Morrie, karya Mitch Albom.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar