Senin, 23 Januari 2012

5 CM... Puncak Mahameru

5 CM… Puncak Mahameru

Usai kututup buku 5 CM. aku memahami apa maksud tulisan Venus di sampul belakang buku itu. Aku juga mengalami perasaan yang sama sepertinya. Buku ini, bagiku juga mengingatkan sekali lagi tentang kekuatan dan keajaiban mimpi dan keyakinan.

Cinta, persahabatan, dan petualangan. Donny Dhirgantoro, mendongengkan kisah indah tentang persahabatan dan petualangan dalam balutan cinta yang hangat dan menyenangkan. Mengingatkanku bahwa berjuang meraih impian itu yang membedakan kita dengan seonggok daging yang hanya punya nama.

Lima sahabat, 4 cowok 1 cewek, yang dari SMA sampai saat kuliah selalu bersama, suatu ketika memutuskan untuk tidak saling bertemu selama tiga bulan. Masing-masing keluar dari zona nyaman tuk berjuang sendiri-sendiri meraih impiannya dan tumbuh dewasa. Lalu pada saat pertemuannya kembali mereka berpetualang, mendaki puncak tertinggi di Pulau Jawa, Mahameru.

Petualangan yang berat tapi mereka yakin bisa mereka lakukan. Karena mereka meletakkan impian untuk berada di puncak Mahameru 5 CM menggantung mengambang di depan kening mereka masing-masing.

Sehabis itu yang mereka perlukan, “Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa.”

Mereka meletakkan puncak Mahameru 5 CM menggantung mengambang di depan kening mereka masing-masing, dan mereka berhasil.

Apa puncak Mahamerumu? Sudahkah itu kamu letakkan 5 CM di depanmu?

Mahameru bisa berarti apa saja, bisa sesuatu yang istimewa, yang kamu kejar, yang kamu impikan, yang kamu perjuangkan. Puncak Mahameru tidak harus sesuatu yang nampak besar di mata dunia, bisa jadi yang nampaknya sederhana, cuma dirimu dan Tuhan yang bisa menikmatinya.

Mahameru juga bisa berarti keseluruhan hidupmu. Cintamu. Hatimu.

Rumahku Sudah Tenang

Rumahku Sudah Tenang


Puisi karya GP Sindhunata SJ


Lama aku mengembara
menembus malam gulita
tersasar-sasar mengikuti indra
di mana Kau berada
ketika aku membutuhkan pelita?


Hasratku akan terang ditelan kegelapan
bulan pudar dalam paha-paha gemilang
aku tak berdaya bergelintang
didera kenikmatan indra tak kunjung padam
dimana Kau ketika airmataku berlinang-linang?


Aku mandi dalam minyak wangi
nafasku sesak menggelayut dalam sunyi
jerit hatiku mengaduh tiada henti
dimana Kau yang kucari-cari
saat hatiku tak sabar lagi menanti.


Kucari diriMu dengan gelora nafsu
seakan Kau adalah kekasihku
yang terbaring hangat di bawah selimutku
dengan nafas memburu kupeluk diriMu
ternyata hanya bayang-bayang palsu yang kutemu.


Lama aku mengembara dalam gulita
sampai akhirnya Kaulumpuhkan segala gairah indra
aku terperangah tanpa hasrat dan daya
punah sudah nafsu untuk bercinta
segala nikmat indra lenyap binasa.


Tiba-tiba Kau datang dengan beribu bunga
dan Kausampaikan untaian kata-kata:
Tak mungkin kau mengembara dalam gulita
bila Aku tak menjadi dian dan pelita
di tengah kau hancur diinjak-injak dosa.


Malam-malam di belakangku
tiba-tiba berpendaran dengan terang bintang-Mu.
Dalam kembara gulita sesungguhnya aku bermata seribu:
Mata Kekasihku yang rela menderita bersamaku
di saat aku tak mampu lagi melihat langit yang biru.


Betapa indah malam-malam yang telah berlalu
kendati harus kulewati dengan sesak isak tangisku
indah karena sesungguhnya Kau selalu bersamaku
justru ketika dosa dan kegelapan meliputi aku
sampai putus sudah harapanku.


Sekarang Kau jumpai aku dengan hati yang baru
saat padam sudah hasrat indra dan nafsuku
betapa beruntung aku
mendapati diriku mandi dalam fajar cinta-Mu
dan lihatlah, sudah tenanglah sekarang rumahku.


*


Kolese Ignatius, Yogyakarta
Menjelang peringatan 25 tahun imamat GP Sindhunata SJ
Natal, 25 Desember 2008
Puisi ini terinspirasi oleh puisi Die dunkle Nacht
Malam Gelap, dari Santo Yohanes dari Salib

bagaimana bisa kutolak cintamu?

aku mencarimu dan kau temukan diriku
aku berjalan menujumu dan kau berlari menyambutku
aku berkata, “ku tak pantas mendapat cintamu.” dan kau memelukku

Bagaimana bisa kutolak cintamu?


Kau lebih mengenalku daripada aku
Kau lebih percaya padaku daripada aku
Kau lebih mencintaku daripada aku

Bagaimana bisa kutolak cintamu?


Kau bakar dirimu untuk menerangiku
Kau teteskan darahmu sebagai petunjuk jalanku
Kau lebur dirimu agar menyatu denganku

Bagaimana bisa kutolak cintamu?



Tapi rajaku,
cahaya cintamu menyilaukanku
Membuatku semakin terlihat hina dihadapanmu
Bagaimana bisa kubalas cintamu? Bagaimana agar aku pantas berada di hatimu?

Morrie

Adakah seorang guru yang mengajar Anda dalam pokok bahasan makna kehidupan? Dengan topik yang diperbincangkan seperti cinta, kerja, keluarga, menjadi tua, memaafkan, dan akhirnya kematian. Adakah guru yang mengatakan pada Anda bahwa ada yang salah dengan budaya yang dianut masyarakat, dan mengajak Anda untuk menciptakan budaya sendiri? Budaya yang penuh cinta kasih, kearifan, pelukan, tawa dan kelembutan.

Betapa hidup yang singkat ini sering berlari tanpa makna tujuan. Setiap hari manusia bangun pagi dan bekerja keras, mengumpulkan harta untuk membeli bermacam perkakas yang nyatanya tak bisa menyelamatkannya dari rasa kesepian apalagi kematian.

Seberapa keras manusia mencoba menolak realitas adanya kematian, nyatanya dirinya merupakan bagian dari alam. Di alam, apa pun yang dilahirkan pada akhirnya akan mati. Namun dengan lembut, guru tersebut berkata, “Kematian mengakhiri hidup, tetapi tidak mengakhiri suatu hubungan.”

Karena itu guru tersebut mengajarkan kepada Anda bagaimana seharusnya kita memandang sesama dan diri kita sendiri. “Andaikata kita memandang semua orang lain sebagai sesama, kita mungkin akan berhasrat sekali untuk bergabung dalam sebuah keluarga besar umat manusia di seluruh dunia, dan akan sayang kepada keluarga itu sebagaimana kita sayang kepada keluarga sendiri.” ujarnya.

“Tapi percayalah, ketika kita menjelang ajal, kita akan membuktikan bahwa itu betul. Kita semua mempunyai awal yang sama, kelahiran, dan kita semua mempunyai akhir yang sama, kematian. Jadi, apakah yang berbeda?” Tidak ada bedanya. Apapun warna kulit Anda akhirnya akan jadi debu juga.

Kematian itu nyata, maka guru tersebut ingin mengajari Anda bagaimana seharusnya Anda memiliki kearifan hidup. Bagi guru itu kepuasan Anda ketika meraih sebuah mobil baru, sebidang tanah baru, mainan baru tidaklah berharga. “Kau tahu bagaimana aku menafsirkan semua itu?” kata sang guru, “Yang sangat didambakan oleh orang-orang ini pada dasarnya adalah kasih sayang namun karena tidak mendapatkannya, mereka mencari gantinya dalam bentuk-bentuk lain. Mereka mengikatkan diri pada harta benda dan mengharapkan semacam kepuasan dari situ. Akan tetapi usaha mereka tidak akan berhasil. Kita tidak dapat menukar cinta, kelembutan, keramahan, atau rasa persahabatan dengan harta benda.”

“Harta tidak pernah dapat menggantikan kasih sayang, begitu pula kekuasaan. Aku dapat berkata begini kepadamu, karena sebentar lagi aku akan mati, dan yang paling aku butuhkan adalah cinta, bukan uang, bukan kekuasaan,” Ya, guru itu akan segera mati, kuliahnya yang terakhir ini berpusat pada kematiannya sendiri. Penyakit Lou Gehrig atau Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) telah menyerang sistem sarafnya. Vonis mati tinggal beberapa hari. Namun, dalam rasa sakit yang teramat menyiksa, guru tersebut bertekad membagi kebijaksanaan hidup agar muridnya dapat menjalani hidup dengan puas dan bermakna.

“Tahukah kau apa yang sesungguhnya membuat kita merasa puas?” dan jika Anda bertanya ‘apa?’, sang guru akan berucap, “Menawarkan sesuatu yang sudah semestinya kita berikan. Yang kumaksud adalah waktu. Kepedulian. Kesediaan bercerita. Semuanya tidak terlalu sulit… beginilah cara kita untuk mulai mendapatkan rasa hormat dari orang lain, yakni dengan menawarkan sesuatu yang kita miliki.”

“Hanya dengan hati terbuka kau akan diterima dan diakui semua orang.”

“Ingat yang pernah kukatakan tentang mencari makna hidup? Aku telah mencatatnya, maka aku dapat mengulangnya sekarang: abdikan dirimu untuk mencintai sesama, abdikan dirimu kepada masyarakat sekitar, dan abdikan dirimu untuk menciptakan sesuatu yang mempunyai tujuan dan makna bagimu.” Dan hidup sang guru sendiri telah menjadi teladan bagaimana dia bersedia mengabdi dan senantiasa mampu memberikan waktu dan cinta pada orang-orang sekitarnya.

“Selama kita dapat saling mencintai, dan mengingat rasa cinta yang kita miliki, kematian tidak dapat membuat kita harus berpisah.” bisik guru itu dengan lemah, “Semua kasih yang kita berikan akan tetap ada. Semua kenangan tentang itu masih ada. Kita akan tetap hidup terus-dalam hati siapapun yang pernah kita sentuh dengan kasih sayang.”

Guru itu kini telah dimakamkan di sebuah bukit di bawah pohon menghadap danau tenang, dipusaranya tertulis "guru sepanjang hayat". Dia bernama Morrie Schwartz, seorang profesor dari Brandeis University, di kota Waltham, Massachusetts. Anda bisa bertemu dengannya di buku Tuesdays with Morrie, karya Mitch Albom.

Tuk Canem, Kalian Masih Ingat Ini Tidak?

Kalau anda tinggal di negara empat musim, maka pada musim gugur akan terlihat rombongan angsa terbang ke arah selatan untuk menghindari musim dingin. Angsa-angsa tersebut terbang dengan formasi berbentuk huruf “V”. Kita akan melihat beberapa fakta ilmiah tentang mengapa rombongan angsa tersebut terbang dengan formasi “V”.

Fakta 1:
Saat setiap burung mengepakkan sayapnya, hal itu memberikan “daya dukung” bagi burung yang terbang tepat di belakangnya. Ini terjadi karena burung yang terbang di belakang tidak perlu bersusah-payah untuk menembus ‘dinding udara’ di depannya. Dengan terbang dalam formasi “V”, seluruh kawanan dapat menempuh jarak terbang 71% lebih jauh daripada kalau setiap burung terbang sendirian.

Pelajaran:
Orang-orang yang bergerak dalam arah dan tujuan yang sama serta saling membagi dalam komunitas mereka dapat mencapai tujuan mereka dengan lebih cepat dan lebih mudah. Ini terjadi karena mereka menjalaninya dengan saling mendorong dan mendukung satu dengan yang lain.

*

Fakta 2:
Kalau seekor angsa terbang keluar dari formasi rombongan, ia akan merasa berat dan sulit untuk terbang sendirian. Dengan cepat ia akan kembali ke dalam formasi untuk mengambil keuntungan dari daya dukung yang diberikan burung di depannya.

Pelajaran:
Kalau kita memiliki cukup logika umum seperti seekor angsa, kita akan tinggal dalam formasi dengan mereka yang berjalan di depan. Kita akan mau menerima bantuan dan memberikan bantuan kepada yang lainnya. Lebih sulit untuk melakukan sesuatu seorang diri daripada melakukannya bersama-sama.

*

Fakta 3:
Ketika angsa pemimpin yang terbang di depan menjadi lelah, ia terbang memutar ke belakang formasi, dan angsa lain akan terbang menggantikan posisinya.

Pelajaran:
Adalah masuk akal untuk melakukan tugas-tugas yang sulit dan penuh tuntutan secara bergantian dan memimpin secara bersama. Seperti halnya angsa, manusia saling bergantung satu dengan lainnya dalam hal kemampuan, kapasitas dan memiliki keunikan dalam karunia, talenta atau sumber daya lainnya.

*

Fakta 4: Angsa-angsa yang terbang dalam formasi ini mengeluarkan suara riuh rendah dari belakang untuk memberikan semangat kepada angsa yang terbang di depan sehingga kecepatan terbang dapat dijaga.

Pelajaran:
Kita harus memastikan bahwa suara kita akan memberikan kekuatan. Dalam kelompok yang saling menguatkan, hasil yang dicapai menjadi lebih besar.
Kekuatan yang mendukung (berdiri dalam satu hati atau nilai-nilai utama dan saling menguatkan) adalah kualitas suara yang kita cari. Kita harus memastikan bahwa suara kita akan menguatkan dan bukan melemahkan.

*

Fakta 5: Ketika seekor angsa menjadi sakit, terluka, atau ditembak jatuh, dua angsa lain akan ikut keluar dari formasi bersama angsa tersebut dan mengikutinya terbang turun untuk membantu dan melindungi. Mereka tinggal dengan angsa yang jatuh itu sampai ia mati atau dapat terbang lagi. Setelah itu mereka akan terbang dengan kekuatan mereka sendiri atau dengan membentuk formasi lain untuk mengejar rombongan mereka.

Pelajaran:
Kalau kita punya perasaan, setidaknya seperti seekor angsa, kita akan tinggal bersama sahabat dan sesama kita dalam saat-saat sulit mereka, sama seperti ketika segalanya baik.

**


Kita sekarang terbang sendiri-sendiri, tapi aku pribadi tetap akan jadi pendukungmu! Maju terus su...

Kenapa Kamu Tidak Masuk PBI?

“Kenapa kamu tidak masuk PBI?” di ruang kecil dan tertata rapi Pak Purba bertanya kepadaku. Seperti biasa suaranya tenang dan dalam. Sesaat aku terdiam, apakah Bapaknya Son ini tahu siapa aku? “Karena saya tidak mempunyai biaya Pak…” jawabku pelan.

“Kan ada beasiswa, kamu bisa cari beasiswa,” balasnya tanpa memandang diriku karena sedang mencari formulir pencairan uang kegiatan kemahasiswaan. Ruangan sempit Pembantu Dekan II FKIP USD, yang mengurusi keuangan terasa semakin sempit. Siang kampus Universitas Sanata Dharma, Mrican, kegiatan perkuliahan sedang berjalan. Namun, masih terdengar derai tawa beberapa mahasiswa yang sedang asyik bergerombol. Sedangkan aku duduk tegak menanti tanda tangan persetujuan Dosen senior Pendidikan Bahasa Inggris yang terkenal itu. Ruang di sudut pojok kawasan Fakultas Ekonomi ini memang tidak asing bagiku, beberapa kali diri ini mewakili mahasiswa prodi, meminta persetujuan pencairan dana kegiatan kemahasiswaan. Beberapa kali aku harus berurusan dengan bapak Batak yang senantiasa mampu menumbuhkan rasa segan dan sungkan itu.

Pembawaannya yang tenang, suaranya yang berat, sampai penataan ruangan yang rapi membuatku harus duduk tenang dan sedikit gemetaran.

Sebagai mahasiswa baru, aku langsung terlibat dalam dinamika kemahasiswaan di kampus. Masuk ke Prodi Bahasa Indonesia sementara teman-teman berbondong-bondong ke Prodi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Ekonomi, Psikologi, Teknik bagiku merupakan pertaruhan. Harus siap dengan segala resikonya. Bahkan resiko untuk tidak dipahami teman-teman dekatku sendiri.

Pertanyaan Pak Purba yang langsung menukik serta bantahan atas alasanku, membuatku kembali merenungkan pilihan. Mengapa tidak menjadi mahasiswa PBI? Memang kemampuan berbahasa Inggrisku masih jelek, namun apa penyebab aku tidak memilih PBI? Apa penyebab aku merasa sulit mempelajari bahasa Inggris?

Apa penyebab aku cenderung membatasi diriku terhadap kemungkinan mendapatkan peluang lebih baik? Permenunganku sampai disitu. Selalu ada pola diri ini memilih untuk tampil biasa saja, apa adanya, tak mencoba untuk memacu diri melangkah lebih jauh, tak memacu diri untuk mendapatkan yang lebih baik, tak ingin berusaha sedikit lebih keras lagi, tak berani menjelajahi potensi yang ada dan tersedia untuk mendapatkan keajaiban dan tawa.

Bisa jadi masalah latarbelakang keluargaku, bisa jadi ada kisah di masa kecilku yang telah aku lupa namun pengaruhnya masih ada, hingga aku cenderung menjadi sosok yang mengalah dan memilih kalah. Kadang entah sadar atau tidak aku memilih untuk kalah, bahkan sebelum peperangan dimulai. Seperti mempelajari ketrampilan berbahasa Inggris. Saat mempelajari bahasa internasional itu, selalu ada perasaan bahwa aku tidak mampu, aku tidak mampu, ini sulit sekali, ini tidak berguna bagiku, aku tidak akan bisa mempelajarinya, dan doaku itu terkabulkan. Sampai saat ini aku senantiasa tergagap dengan bahasanya Susan Boyle itu.

Alasan tidak ada biaya yang asal kuucapkan pada Pak Purba itu cuma semu. Alasannya sebenarnya adalah aku sudah mengibarkan bendera putih bahkan sebelum masuk ke pertempuran. Kekalahan yang sangat patut disesalkan. Tak terbayang petualangan yang bakal aku lalui jika aku berani berkata “Ya” dan maju ke medan laga. Apapun jenis pertempurannya, tentu semuanya menyajikan pertarungan hidup mati yang mendebarkan. Dan apapun yang tidak membuatku mati, itu akan membuatku semakin kuat. Semakin kuat dan semakin hidup.

Jika waktu itu kau bertanya padaku, apa kamu ingin masuk PBI? Dan memberikan waktu longgar bagi hatiku tuk tenang, bisa kau tatap mataku dan kau tahu jawabannya "Ya". Ya aku ingin mampu membaca novel Charles Dickens, Mark Twain, Ernest Hemingway, Conan Doyle, aku ingin menikmati puisi Robert Frost, Walt Whitman, William Shakespeare, Oscar Wilde, aku ingin menonton film tanpa terganggu teks terjemahan, aku ingin bisa berkomunikasi dengan jaringan yang lebih luas.

Jika sekarang engkau bertanya, jadi engkau kecewa dengan pilihanmu masuk PBSID Ven? Tidak jawabku. Aku tidak kecewa, aku bangga dengan PBSID. Kuliah di Pendidikan Bahasa Indonesia membuatku mampu berdiri sampai saat ini dan sampai akhir nanti. Kuliah di PBSID membuatku mampu berpikir seperti ini, tidak ada penyesalan sama sekali.

Hal yang kusayangkan adalah bahwa aku mematikan keajaiban peluang hidup yang ada hanya gara-gara ketakutan dan kepengecutan bukan karena realita kenyataan. Sangat patut disesalkan, jika kita hidup dalam bayang-bayang pemikiran dangkal, tak mampu memandang kesempatan lalu berusaha meraih apa yang terbaik bagi kita.


Guru-guru merupakan sosok yang telah diletakkan Tuhan dengan sempurna untuk membantu kita menemukan takdir kita sendiri.




Surabaya, 6 Mei 2009
Menanti laga MU v Liverpool
revisi, 8 Mei 2009

Momo

Pernah membaca novel berjudul Momo? Kalau kamu, temanku, sudah menyempatkan waktumu yang berharga hanya untuk membaca catatanku yang konyol ini, aku berharap kamu juga menyediakan waktu membaca novel bagus ini.

Novel ini luar biasa. Idenya cemerlang. Kritikan dan pesannya dibungkus lewat kisah petualangan yang menyenangkan. Imajinatif dan inspiratif.

Momo karya Michael Ende itu memang cerita petualangan anak-anak. Namun, seperti setiap cerita anak-anak, justru kita bisa temukan pesan bijaksana, bekal tuk jalani hidup yang berharga.

Momo seorang gadis kecil, gelandangan, yang menempati sebuah amfiteater tua. Stadiun olahraga dan pertunjukan dari jaman Yunani ataupun Romawi kuno. Berarti Momo tinggal di Italia, atau setidaknya di salah satu kota di Eropa Selatan sana? Tidak tahu, pengarang tidak menjelaskan secara rinci Momo tinggal dimana. Bahkan siapa Momo itu pun, kita tidak tahu.

Maksudnya? Ya... dikisahkan Momo tiba-tiba datang, lalu menempati amfiteater tua yang tidak terpelihara. Lalu orang-orang sederhana di sekitar bangunan itu merawatnya dan menyukainya.

Momo berambut kusut, dengan mata yang besar dan indah berwarna hitam pekat. Pakaiannya jas laki-laki kebesaran dan celana rok tambal sulam yang panjangnya sampai mata kaki. Tidak diketahui pasti berapa umurnya, siapa orang tuanya, dari mana asalnya, bahkan dia mengaku yang menamai dirinya ”Momo” ya dirinya sendiri. Namun ada satu hal istimewa yang dimiliki Momo. Dia memiliki bakat luar biasa. Hingga orang-orang yang mengalami masalah sering berkata, ”Coba cari Momo?”

Apa bakat luar biasa Momo? Apakah Momo begitu pandai, sehingga mampu memberikan nasihat pada setiap orang? Apakah ia selalu menemukan kata-kata yang tepat untuk membesarkan hati orang yang perlu dihibur? Apakah ia mampu mengambil keputusan yang bijaksana dan adil?

Bukan, bukan itu semua. Momo tidak seperti itu. Yang bisa dilakukan Momo kecil dengan lebih baik dibandingkan siapa pun adalah: mendengarkan.

Begitu pandainya Momo mendengarkan sehingga orang yang semula bingung atau ragu-ragu mendadak tahu persis apa yang ia inginkan. Orang yang pemalu menjadi bebas dan berani. Orang yang tidak bahagia dan tertekan pun kembali merasa bahagia dan berbesar hati. Yang dilakukan Momo hanya duduk mendengarkan orang itu dengan segenap perhatian dan dengan sepenuh hati.

Memang sederhana namun bisakah kita, aku dan kamu, melakukannya dengan baik?

Itu salah satu mutiara cerita ini. Tentang kemampuan sederhana yang sering kita abaikan.

Apakah cerita Momo semata hanya berkisah Momo yang setiap hari mendengarkan keluh kesah? Ah, tentu tidak. Seperti setiap kisah petualangan, Momo juga mengalami peristiwa luar biasa. Petualangan menghadapi para ”tuan kelabu” gerombolan pencuri waktu.

”Tuan kelabu” adalah gerombolan lelaki misterius dari bank waktu yang mengambil waktu setiap orang, sehingga setiap orang merasa sibuk dan tidak punya waktu. Setiap hari orang-orang selalu merasa dikejar-kejar waktu. Hingga tidak bisa lagi menikmati waktu yang tersedia baginya. Hingga hilanglah kepedulian. Hilanglah kasih sayang dan perhatian. Setelah sisi kemanusiaan itu hilang, apa yang tersisa bagi manusia?

Ini kritik terhadap kehidupan kita sekarang kan? Kita seakan-akan dipaksa berlari-lari, sibuk, terjebak oleh rutinitas, tercekik oleh himpitan tugas, deadline, target, goal. Lalu sebenarnya buat apa itu semua?

Kalau kamu sudah menyempatkan waktumu yang berharga hanya untuk membaca noteku ini, aku berharap kamu juga menyediakan waktumu membaca novel bagus itu. Aku tidak akan bercerita panjang lebar lagi. Semoga ketika membaca Momo nanti kebijaksanaanlah yang akan berbisik ke telingamu, dan hatimu berkenan menyediakan ruang untuk menghidupinya.

Karena kita sebenarnya tahu, waktu adalah kehidupan, dan kehidupan berpusat di hati.

Kamu Tidak Akan Berjalan Sendirian

Kamu tidak akan berjalan sendirian. Untuk kebersamaan kita yang pernah ada, untuk persahabatan yang pernah kita tulis bersama, untuk satu rumah cinta yang pernah kita singgahi bersama. Saat ini aku merindukan kalian. Mengenang senyum kalian satu persatu, satu persatu, itu menguatkan diriku bahwa kamu dan diriku tak pernah berjalan sendiran. Tak akan berjalan sendirian.

Note ini kudedikasikan untuk seluruh sahabat yang pernah singgah dan memberi warna pelangi di memoriku.

Terutama anak-anak Pendamping Kelompok Inisiasi Sanata Dharma 2003. Note ini mengisahkan satu bagian kisah hidup kita, kuharap kalian tidak lupa. Jika kamu tidak ikut dalam lingkaran itu, nikmati tulisanku kawan, dan aku sayang dirimu. Bagaimanapun kamu tetap mempunyai peran penting dalam hidupku.

Kisah ini kutulis di Note Pom-pom, itu nama sayang kami untuk Antonina Yunita Dewi Suryantari. Pom-pom yang saat itu baru belajar di US menulis tentang persahabatan, dan aku tertarik mengomentarinya dengan kisah persahabatan di Dampok Insadha '03.

enjoy......

V(^^)V




Pom-pom,

Masih ingat tidak waktu masa-masa pelatihan dampok Insadha '03 dulu? Kita di Hall Kampus Paingan, trus kalian menutup mata dengan saputangan dan mendengarkan lagu instrumen. Kami sebagai koordinator membebaskan kalian berekspresi tanpa takut dilihat teman yang lainnya.

Pertama kalian cuma terdiam, merenung, hening meresapi alunan lagu yang memang pas di senja itu. Lalu beberapa dari kalian mulai bergerak, menari pelan, ada yang berputar-putar ringan. Namun masih banyak yang terdiam, bahkan mulai surut, mendekap kaki dan tertunduk. Satu.... dua... mulai menangis. pelan dan Lirih pada awalnya... ...

Lagu instrumen yang mendayu semakin membuat suasana syadu. Seperti terkena virus, mulai banyak teman-teman yang terisak. Banyak banget. Hampir semua. Apa yang kalian rasakan? Apa yang kalian pernah alami? Beban apa yang kalian simpan selama ini? Kita tidak tahu, sampai hari ini pun tidak tahu, dan biarlah itu jadi salib yg memang harus dipanggul sendiri.


Lalu kami yg menjaga kalian, mulai mendekat dan memeluk kalian satu persatu. Mulai mengandeng tangan kalian supaya menemukan teman yg juga sedang menangis. Mempertemukan kalian, dan membiarkan kalian saling berpelukan. Beberapa membentuk lingkaran kecil. Saling mencari menemukan memeluk. Dalam tangis kita saling menguatkan.

Namun kamu masih ingat tidak Pom? Disaat kalian berpelukan dan menangis itu ada teman kita yang keluar dari Hall. Dia membuka penutup mata dan lari keluar. Aku langsung mengejarnya. ...

Menemukan dia sedang duduk di tangga Hall sebelah timur, teman kita itu marah dan sebal pada acara ini. "Ada apa?" tanyaku. Dia diam, sungguh dia emosi. "Kalian tahu tidak sih, betapa berat aku berusaha menyimpan bebanku, dan sekarang saat aku sudah tenang. Kalian membuatku membuka masalah itu? Kalau kubuka apa kalian sanggup memperbaikinya?"

Kadang kita tahu apa yang kita lakukan, namun apa kita tahu dampak yg bakal terjadi sesudahnya?

Aku diam. Dia diam.





Butuh waktu yg lama untuk dia agar tenang kembali. Aku cuma bisa menatapnya. Terdiam, dingin sekali malam itu. "Semua akan baik-baik saja" bisikku dalam hati untuknya, kuharap tatapan mataku bisa menyampaikannya.

Sementara kalian yg di dalam Hall sudah mulai tenang, mulai menghapus air mata dan entah bagaimana, kalian yg sudah boleh membuka mata kini bisa tersenyum lebar, tertawa lebar. ...
Seperti lampu tua berdebu yg sudah dibersihkan kini nyalanya lebih terang.

Teman kita yg di luar lingkaran mulai agak tenang. Aku tidak ingin mengetahui permasalahan hidupnya di masa lalu jika dia tidak mau menceritakannya. Namun aku ingin (seperti yg kita yakini bersama dalam kebersamaan di Dampok Insadha 2003) dia tahu bahwa dia tidak akan berjalan sendirian.

Maka cuma senyuman yang bisa kuberikan. Seperti yg juga kalian berikan padanya ketika dia masuk kembali ke Hall Paingan. Kita cuma bisa memberikan senyuman dan pelukan.



Jalan salib yang harus kita tempuh ini memang sifatnya personal. Setiap orang harus memikulnya sendiri. Dan untuk setiap pribadi, salibnyalah yang terberat.


Apa yg bisa kita lakukan? Yesus saja dibantu oleh Simon dari Kirene ketika memikul salib ke Kalvari. Bukankah itu penggambaran yang sempurna bahwa kita memang harus saling membantu, menopang dan menguatkan perjalanan salib kita ini. ...


Dengan senyuman dengan pelukan, semoga beban hidup ini akan terasa lebih ringan. Tetap semangat kawan, kamu tidak akan berjalan sendirian.



senyum dan pelukku

V(^^)V

PS: Soridorimori... komenku panjang....




Sekarang,
cengeng ndak kalau aku sekarang bilang aku rindu kebersamaan kita kawan.....

Illalang

Ilalang
David Wirawan - (Vids)


Aku hanya sekumpulan ilalang,
Aku ada bukan karena diundang
Aku tumbuh tanpa ada yg pandang

Aku tumbuh meninggi, ingin merasakan sang surya dan desiran angin
Tapi saat itu aku tahu aku umurku sudah dekat
Aku akan dihabisi karena aku hanya dianggap pengganggu

Tiada yang melihat keindahanku
Tubuhku kurus tinggi dan memang tidak menarik
Aku tidak menghasilkan sesuatu yang berguna

Aku hanya bisa berharap,
Aku bisa dihargai, aku bisa dipandang
Aku hanya ingin bermimpi
Kehadiranku bisa dirasakan

Cobalah, duduk di dekatku
Dengarkanlah desiran musik angin yang hadir karena gesekan tubuh-tubuhku
Pandanglah lenturnya aku menghadapi angin yang kuat
Lihatlah pancaran keemasan bungaku dihampiri sinar sang surya

Kecantikanku tidak tersembunyi
Keindahanku terpana setiap hari,
Aku hanya butuh kau lebih bisa melihatku, lebih lama berdiri di sisiku
Hanya berada didekatku dan bersamaku kau akan mengerti keindahanku

Saat kau ada, aku malah seakan tiada
Saat kau tiada aku merasa ada
Dalam lubuk hatiku, aku senang dikau datang
Tapi aku tahu kau hanya akan melalui dan menyakitiku.
Aku akan tetap menunggu sampai kau bisa benar benar bisa melihatku.

Aku hanya sekumpulan ilalang
Ijinkan aku juga bisa membuat suatu rasa dalam hidupmu.

Cinta Menghajar Temanku Habis-habisan

Cinta menghajar temanku habis-habisan. Seperti tentara kalah perang, dia pulang dengan hati terluka, sorot matanya redup kemerahan ada mendung pekat yang siap ditumpahkan.

“Yo keluar sebentar,” ajakku supaya dia mendapatkan udara segar. Cuma mengurung diri di dalam kamar, mengasihi diri sendiri, menangis semalaman tak baik buat kesehatan.

Maka kami pun keluar, kalau sedang di Jogja aku bisa mengajaknya nongkrong di angkringan dekat Kantor Pos Besar, tapi di kota ini aku agak kesulitan mencari tempat yang ramai tapi tetap memberi privasi pada kesendirian, dan yang terpenting terjangkau isi di kantong kami. Sambil berkendara menerobos padatnya lalu lintas Surabaya di waktu malam dia mulai bercerita. Cerita cinta kuno sebenarnya, namun setiap orang toh bisa membuatnya jadi dramatis terdengar. Dia jatuh cinta, membangun impian berdua, lalu kini runtuh tanpa sisa. Gelas kristal mimpi indahnya hancur berantakan. Dia tak tahu lagi, hatinya pedih kecewa.

Setelah berputar-putar tanpa tujuan, kami berhenti di depan kebun binatang Wonokromo, di belakang patung Sura Baya yang legendaris. Ada penjual STMJ dan kami bisa lesehan sambil menatap bagian belakang patung itu. Malam tak pernah membuat Surabaya tertidur, kendaraan lalu lalang seperti kesetanan, menepi dan mencari tempat sunyi seperti ini jadi suatu kemewahan. Bulan yang hampir purnama seakan tersenyum di langit tanpa bintang. Mungkin juga dia sedang tersenyum pada kami, dua manusia asing yang tersesat di rimba bernama Surabaya.

Menatap rembulan kenapa aku jadi terbayang wajah seseorang di masa silam? Seolah pemilik wajah manis itu tersenyum, maka aku pun membalas senyumnya, terkenang kisah yang lama kupendam. Setelah puas memejamkan mata, perlahan kulihat teman disampingku. Dia masih termenung, menunduk menatap gelas susu putih panas bercampur telur madu dan jahe. Jelas dia tidak sedang mengukur kadar gizinya, bisa jadi juga tidak peduli apakah yang diminumnya itu STMJ atau racun arsenik.

Aku menatap temanku, berapa kali dia jatuh cinta, berapa kali terluka, berapa kali dia telah terbangun di malam sunyi dan meratapi nasibnya, namun toh cinta bukan hitungan angka-angka. Tak ada jaminan bahwa jika semakin banyak angka yang kita dapatkan, kita akan bisa lulus mudah dari tesnya.

“Eh, Pat Kai itu berapa kali harus bereinkarnasi menjalani siksa cinta?” tiba-tiba terlintas pertanyaan itu.

“Apa?” sahutnya kaget, kembali dari lamunan, “Eh, entahlah.. Kenapa?”

“Tidak apa? Tapi seingatku sampai ratusan ya, sial bener berarti.”

“Sejak dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir,” hampir bersamaan kami mengucapkan kata-kata sakti siluman babi itu, lalu kami tertawa pelan. Pelan dan masam.

Dia masih berduka. Cepat sekali mendung menutup cahayanya. Mungkin jika tak di luar, dan di kamar saja dia sudah meneteskan air mata. Seperti perenang yang kehabisan udara, dia menghisap udara dalam-dalam, mengeluarkan perlahan dari mulutnya. Matanya terpejam, menahan tetesan hujan. Kedua jemari tangannya memegang gelas erat-erat, seolah tak ingin yang satu ini terlepas juga dari genggaman.

“Aku masih menyanyanginya,” bisik temanku. Tak perlu kutolehkan mukaku, dia berbicara lebih kepada dirinya. “Ya,” itu balasan yang bisa kuucapkan. Sama-sama dengan intonasi datar.

Rasanya baru kemarin kulihat temanku ini bercahaya terang. Menerima telepon dengan muka berseri-seri tak bisa menahan senyum tuk terkembang. Bahkan dari nada suaranya yang riang kau dapat langsung menduga, dengan siapa dia sedang bicara. “Aku jatuh cinta, aku jatuh cinta, aku jatuh cinta…” ujarnya berkali-kali dengan ekspresi bahagia kekanak-kanakan. Aku ikut tersenyum saja. Tanpa diminta dia tentu akan menceritakan siapa orang yang bisa menyalakan lentera di hatinya itu. Dan tentu seperti bunga yang sedang mekar, seperti kijang yang dilepas ke alam, seperti elang yang baru bisa terbang, dia bahagia luar biasa. Hari-hari penuh warna dan ceria. Dan aku cukup beruntung dipilihnya tuk mendengarkan siaran tunda kisah cintanya, langsung dari narasumber pertama.

“Kenapa?” dia bertanya pelan. Duh, jangan tanya itu deh, suara di kepalaku protes. Jangan bertanya ‘kenapa?’ pada cerita cinta, akan sulit kita mencari penjelasan rasionalnya. “Kenapa, kenapa?” balasku bertanya, sekenanya.

“Kenapa dia tega, kenapa….”

“Kenapa kamu bodoh banget bisa mencintainya…”

“Ya.”

“Ya.”

Datar, dan kembali ke sunyi. Kuminum kembali STMJ yang kini telah hangat. Melihat gumpalan-gumpalan madu dalam susu putih itu aku teringat awan-awan di langit. Awan-awan dan Icarus. Icarus, anak lelaki dalam mitologi Yunani yang diberi sayap-sayap lilin oleh ayahnya supaya bisa terbang. Walau sudah mendapatkan peringatan keras jangan terbang tinggi-tinggi mendekati matahari anak itu tidak peduli. Dia terbang tinggi karena awan-awan indah sekali, karena cahaya matahari menarik hati. Dia terbang tinggi sekali sampai sayap-sayap lilinnya terbakar dan meleleh. Icarus pun jatuh ke bumi. Jangan terbang terlalu tinggi, jangan bersikap bodoh ketika mencintai.

Tapi temanku ini bukan Icarus. Sayap-sayap cintanya memang telah terbakar dan dia jatuh kesakitan. Tapi dia bukan Icarus, putus cinta kali ini tidak akan membuatnya kalah.

“Aku tidak tahu, duniaku seakan runtuh. Aku bisa gila Nev, aku bisa gila. Dia segalanya bagiku, aku bersedia mengorbankan apa saja untuknya. Untuk mendapatkannya. Kenapa akhirnya seperti ini?”

Bisa jadi setelah ini dia akan melewati malam-malam yang menyesakkan dada. Terbangun tengah malam karena merasa mengalami mimpi buruk. Ingin menelepon seseorang tapi tiba-tiba tersadar dia tidak bisa lagi menghubunginya. Namun ingin sekali mendengarkan suaranya, ingin mendapatkan kembali perhatiannya, ingin mendapatkan kembali omelannya, tapi itu sudah tidak bisa. Malam-malam yang menyakitkan. Tapi jika dia bisa bertahan…

“Aku mencoba menahannya, aku mencoba segalanya, tuk membuatnya bahagia. Kenapa dia pergi juga?”
Bisa jadi setelah ini dia akan melewati jalan-jalan sunyi. Rasa sepi seperti tak ada lagi udara, tak ada lagi suara, tak ada lagi siapa-siapa, hanya dirinya dan kesendiran. Rasanya ingin saja berlari namun kemana, namun untuk apa, menuju siapa. Tapi jika dia bisa bertahan….

“Aku tidak tahu. Entahlah…”

Aku ingin bercerita banyak padanya. Ingin kukisahkan kisah-kisah para pecinta yang senantiasa dikecewakan. Kisah-kisah tragis yang masih diingat manusia sejak dahulu kala tentang cinta dan air mata. Tapi jika dia bertahan, jika dia bisa bertahan, dia akan bisa memahami sendiri.

“Katakan sesuatu Nev, bagaimana caranya aku bisa melewati hari-hariku tanpa dia, tanpa memikirkan dia. Aku ingin melupakan dia. Adakah alat untuk menghapus memori kita?”

Aku menggeleng. Kenanganmu ini begitu berharga kawan, jangan kau coba hapus.

“Eh, ingat lagu kebangsaan orang patah hati tidak? Cake, I will survive?” Aku berkata dan tersenyum, tiba-tiba terdengar cabikan bas khas di kepalaku. “At first I was afraid, I was petrified, I kept thinking, I could never live without you by my side, But then I spent so many nights, Just thinking how you'd done me wrong, And I grew strong, I learned how to get along”

Mungkin geli mendengar suara falsku, mungkin terhibur bahwa dia bukan satu-satunya orang yang pernah patah hati, temanku tersenyum.

Selama perjalanan pulang, dia menggumamkan I will survive. Tentu dengan nada yang masih sepi, tapi itu sudah cukup bagus terdengar. Dia akan baik-baik saja.

“Kalau ada apa-apa kamu tahu nomorku kan?” Kataku setelah sampai di depan rumahnya.

Dia menganguk, “Trims ya,” ujarnya.

“Tapi kalau cuma minta diantar ke belakang ndak sah hubungi aku.”

“Sialan.”

Aku terkekeh, “Aku pulang.”

“Trims, hati-hati di jalan. Kabari kalau kamu sudah sampai kos.”

Aku mengangguk, dan segera berjalan. Dia akan baik-baik saja. Dia akan hidup dengan kenangan yang menyakitkan soal cinta dan pengorbanan, tapi itu tidak apa-apa. Jika dia bisa bertahan dan mengolah itu jadi pengalaman mendewasakan dan tak ingin melupakannya, dia akan jadi lebih kuat dari sebelumnya. Menjadi dewasa, seperti proses lepas dari kepompong, proses menyakitkan yang harus kita alami sendiri, membantu kupu-kupu keluar dari kepompongnya justru akan membuat sayapnya terkembang tak sempurna. Kurasa biarlah temanku itu membalut lukanya sendiri, dan cukuplah dia tahu, dia tak berjalan sendiri.

Kunikmati cahaya-cahaya lampu kota Surabaya, bulan sudah semakin jauh di langit sunyi. Tapi hidup ini indah, kita hanya perlu belajar memaafkan bukan melupakan.

Antara Kita Ada

Antara kita ada puisi
sunyi yang tak lagi dihargai
dianggap sepi

Kapan lagi kita terpukau permainan cahaya
pada bayang-bayang menjelma raksasa, kuntilanak, dewa
Kapan lagi kita terlena pada nada senja
pada senyum ramah di sudut kota, pantai, rumah

Kita terus berlari, berlari, entah mengapa, entah mengejar siapa, entah karena apa
cuma kerumunan di depan itu telah berlari, jadi kita harus mengikuti, harus mengikuti

harus mengikuti

Rasanya nyaris seperti kerumunan laron di musim hujan
keluar dari sarang dan kebingungan
saat satu mendekati cahaya
lainnya mengikuti
dan mati

Antara kita ada puisi, tak lagi kita hargai, dianggap sepi,
sesepi tawa saat sadari hidup ini sendiri

Jalan Sunyi

Membaca Silence karya Shusaku Endo, saya tergoda untuk membayangkan Yesus yang memilih menyelamatkan nyawa manusia. Gambaran yang berarti Yesus yang menginjak fumie, Yesus yang dipermalukan, Yesus yang dikalahkan. Tidak bisa saya bayangkan bahwa Yesus akan memuja fumie gambar wajahnya dibandingkan nyawa manusia. Seperti tidak bisa saya bayangkan bahwa Yesus akan betah di gereja dan katredral yang megah sementara di luar masih terjadi ketidakadilan, kelaparan dan budaya kematian.

Sejarah pengikut Kristus merupakan sejarah penuh tetes darah, air mata, siksa, dan kematian. Sudah tidak terhitung berapa banyak umat Kristen yang rela mati mempertahankan imannya. Ada berapakah gereja yang berdiri kokoh di atas kubur para martirNya. Bisakah kita kenali satu persatu wajah perempuan, laki-laki, anak-anak, serta orang tua yang gagah berani mengorbankan dirinya dibakar, disalib, diumpankan kebinatang buas, disiksa tanpa ampun karena percaya bahwa Yesus adalah Juru Selamat. Membayangkan kengerian semacam itu, hati ini jadi bertanya, keselamatan macam apa yang diwartakan Yesus pada kita?

Tuhan seolah bungkam ketika para pengikutNya yang paling setia meregang nyawa dan memanggil namaNya. Kita yang belum pernah mengalami siksa dan dera bisa berkata, “Mereka akan diselamatkan, pintu surga terbuka bagi mereka.” Itu yang kita percaya. Bukan keselamatan di dunia tapi keselamatan di kehidupan abadi kelak. Itu yang menyemangati kita menanggung segala derita di dunia dan tetap percaya pada ajaran Kabar Gembira. Tapi apakah memang harus dengan penderitaan sepedih itu untuk mendapatkan hak kita di surga kelak?

Yesus sendiri juga memanggul salib dengan pedih luka, betapa takutnya Dia, betapa tersiksanya. Sudah berapa juta orang juga memanggul salib, mengalami derita sebelum kematian membebaskannya, tapi mengapa kita senantiasa mengenang Lelaki dari Nazaret itu? Sebab saat memanggul derita salib itu, Yesus tidak melakukannya semata untuk keselamatan diriNya sendiri, namun untuk kita dan juga untuk Kemuliaan Allah. Yesus memberi teladan langsung melalui tindakan, bahwa hidup ini harusnya dibagi-bagi, harusnya dibaktikan untuk kehidupan dan Sang Pencipta. Seberapa pedihnya, seberapun itu mengakibatkan kita menderita, dipermalukan, dan dikalahkan.

Surga tercipta ketika kita mampu berbagi dan berbakti pada kehidupan dan Sang Pencipta kita. Apa gunanya kita memiliki gereja megah namun kita lupa akan tanggung jawab kita pada lingkungan tempat kita berada. Apa gunanya kita mengagungkan salib, patung, dan benda-benda jika kita tidak mampu memandang ada Tuhan yang menderita di sekitar kita. Tidak bisa saya bayangkan bahwa Yesus akan betah di gereja dan katredral yang megah sementara di luar masih terjadi ketidakadilan, kelaparan dan budaya kematian.

Percakapan yang Direkam Rintik Hujan

Ini percakapan yang direkam rintik hujan di satu malam. Kisah dari emperan toko tua yang menyisakan sedikit tempat berteduh, di Kota Jogja. “Ceritakan suatu kisah padaku?” pinta seorang wanita pada kekasihnya.

Dingin hujan dan tiupan angin sesekali memercikan embun air ke tubuh mereka. Lelaki itu, dengan tangan yang merangkul kekasihnya mulai bercerita, “Karena ia mencintai dia, dan dia menyukai hujan, maka ia ciptakan hujan buat dia…”

“Ah, itu ceritanya Seno,” potong si wanita sambil meninju lengan pengagum Seno Gumira Ajidarma itu, “Aku ingin cerita darimu.” Sang lelaki cuma bisa tertawa, “Kamu sudah tahu cerita itu ya?”

“Iyalah,” ujar wanita itu berlagak sebal, lalu ia pun merajuk dengan manja, “Ayolah ceritakan padaku suatu kisah cinta.”

“Kenapa menginginkan kisah cinta?” spontan lelaki itu bertanya.

“Kenapa ya…” wanita itu terdiam. Cahaya-cahaya lampu jalanan menciptakan pemandangan kabut hujan di sekitarnya. Kendaraan yang lalu lalang mulai berkurang. Ini sudah hampir jam 11 malam. Satu becak melintas cepat menembus tirai hujan. Pengayuhnya mengenakan caping dan mantol plastik transparan, tak ada penumpang.

Hujan juga tidak tahu, mengapa manusia selalu menginginkan kisah cinta. Telah sering disaksikannya dalam rintik hujan seorang anak manusia menangis sendirian, karena cinta yang terkandaskan. Tapi mengapa mereka tetap menginginkannya?

http://www.facebook.com/note.php?note_id=67254005355

Benarkah Ada Cinta Segitiga Antara Bencana, Sinterklas, dan Facebook

Kini ada hubungan mesra antara bencana, Sinterklas dan Facebook. Belum jelas juga hubungannya sudah resmi atau masih siri. Tapi cinta segitiga ini kini tampak semakin panas membara saja. tentu tak banyak yang menduga, bahkah nyamuk-nyamuk infotainment pun tak mencium bau gosipnya.Tapi jika Anda, Puan-puan dan Tuan-tuan yang terhormat membaca tulisan ini sampai tuntas, maka saya jamin Anda akan bisa melihat bahwa ini bukan gosip semata.

Bermula dari kedatangan si bencana. Seperti biasa, dia selalu datang dengan gagah perkasa, tak diundang, tak disangka-sangka. Bencana datang, wajahnya bisa beraneka ragam. Tapi akibatnya selalu seragam, penderitaan, kematian, kehilangan, tangis, luka, dan manusia otomatis ingat pada Tuhan.

Setelah bencana datang, Sinterklas-Sinterklas pun berhamburan masuk ke panggung penderitaan. Dengan sekarung hadiah, tapi tak memakai baju warna merah darah, jenggot putih dan tawa “ho, ho, ho”nya, sebab mereka itu Sinterklas palsu, kawan-kawan. Jika kita tidak awas, kita tak pernah tau mereka itu Sinterklas jadi-jadian. Kita perlu awas, kita perlu waspada untuk bisa menandai ciri-cirinya.

Apa ciri-ciri Sinterklas kesiangan itu setelah bencana datang? Ini ciri-ciri yang aku temukan berdasarkan pengamatan di lapangan. Mereka ingin tampak seperti dewa dewi khayangan, memberikan sumbangan beraneka ragam, mengobati luka-luka, melihat dan menangis kasihan bersama para korban bencana.

“Lho… jadi apa salahnya? Bukankah para korban itu membutuhkan bantuan?” Ah, tentu Puan-puan dan Tuan-tuan bisa menyanggah dengan melontarkan pertanyaan demikian. Iya, benar itu tidak salah, membantu setiap korban yang menderita itu memang kewajiban kita selaku manusia. Namun yang menjadi persoalan adalah Sinterklas-Sinterklas gombal itu juga mengharapkan imbalan. Mereka membawa bendera, dan bendera itu harus dikibarkan oleh para korban. Bendera itu bisa bernama partai, institusi, agama, organisasi LSM, bahkan negara.

Ada hal yang lebih parah yang dilakukan Sinterklas palsu itu Puan-puan dan Tuan-tuan. Mereka membantu tapi tak pernah berpikir untuk membuat para korban itu bisa berdiri kembali. Mereka mencekoki korban dengan aneka bantuan, makanan, obat-obatan, pakaian, pembalut, mainan, tenda, tapi tak pernah punya program nyata untuk menjawab pertanyaan,
Setelah ini, bagaimana para korban ini memiliki semangat hidup kembali?
Setelah ini, apa saja program yang bisa kuberikan agar mereka punya penghasilan?
Setelah ini, bagaimana melatih mereka agar siap menghadapi bencana yang akan datang?
Setelah ini, apa yang bisa kulakukan untuk mereka?

Tidak. Para Sinterklas bajakan itu tak pernah berpikir sejauh itu. Mereka meninggalkan para korban bencana setelah ekspos media mulai redup cahayanya. Bagi mereka, tugas sudah selesai, bya-bya… da-da, sayonara…

Itu sepak terjang para Sinterklas palsu, kita tidak tahu bagaimana hubungan antara bencana dan dirinya, tapi setiap bencana datang, mereka selalu menyusulnya. Kadang mereka memang memiliki hati yang murni seperti bayi, polos dan lugu sehingga tak tahu bahwa mereka keliru. Keliru sebab memberikan bantuan terus menerus sama saja memperlakukan korban bencana seperti pengemis. Baiknya setelah korban disembuhkan, mereka juga diberdayakan, dilatih untuk mampu menghasilkan pendapatan.

Namun ada Sinterklas palsu yang memang busuk, luar dalamnya, belatung isi hatinya. Mereka memanfaatkan penderitaan para korban bencana untuk mengeruk keuntungan diri sendiri dan kelompoknya. Kita toh tahu akan berakhir kemana mereka nantinya.

Lalu dengan Facebook, apa hubungannya? Ini kabar terbaru yang kudapatkan. Tahun-tahun sebelumnya, sewaktu Gempa di Jogja (ah…sampai sekarang aku masih ingat getarannya) Facebook belum ada. Sekarang dia layaknya puteri cantik yang terlalu menarik untuk diabaikan. Facebook membuat setiap orang ingin eksis dan narsis. Tidak masalah, karena itu sebenarnya naluri alamiah kita.

Namun, kini lokasi bencana yang diekspos media dan menarik perhatian massa pun tak luput jadi latar foto diri di Facebook. Lokasi bencana seolah adalah tempat wisata yang menarik, eksotik, dan unik. Ah.. Puan-puan dan Tuan-tuan, pernahkah terpikirkan di benak kita bagaimana perasaan para korban bencana jika kita hadir ke lokasi bencana sekedar untuk berfoto-foto ria.

Pernahkah meletakkan diri Anda, Puan-puan dan Tuan-tuan yang cantik dan tampan pada posisi korban bencana? Pernah tidak membayangkan, saat diri kita kehilangan orang tua kita, atau pasangan kita, atau buah hati kita, atau semuanya, terus ada orang asing datang ke tempat kita sekedar untuk berfoto. Tertawa, meringis, bilang, “cheesss”, membuat lambang Victory dengan jari telunjuk dan tengah. Apa yang kau rasakan? Bukankah kau ingin menghajar mereka habis-habisan?

Aku teringat pada Kevin Carter, seorang fotografer peraih hadiah Pulitzer. Pulitzer merupakan hadiah tertinggi untuk insan jurnalistik. Fotonya menggambarkan penderitaan kelaparan yang dasyat di Somalia tahun 1994. Seorang anak Afrika kurus kering sedang merangkak menuju lokasi pemberian bantuan pangan. Tubuhnya hitam, tak ada lagi lemak daging, tinggal kulit yang menempel tulang. Dia merangkak perlahan, dengan kesakitan, kelaparan dan kelelahan, lalu anak itu tertunduk lemah, kepalanya menyentuh tanah. Seekor burung pemakan bangkai menunggu di belakangnya. Menunggu anak itu mati. Pada momen itu sang fotografer mengabadikannya.

Hasilnya fenomenal, dunia jadi menyadari pedihnya kelaparan di Somalia. Anak itu akhirnya mati. Si fotografer mendapatkan hadiah foto jurnalistik tertinggi. Tapi apa yang terjadi? Tukang foto juga dicerca habis-habisan. Dia dianggap tidak peduli, dia seharusnya bisa menyelamatkan anak itu, namun dia cuma melihat anak malang itu mati.

Fotografer membela diri, dia dilarang untuk memegang orang-orang Somalia, karena ditakutkan bisa terkena infeksi. Memang dia benar, mereka dilarang keras kontak fisik dengan warga. Dia benar. Tapi nuraninya tidak bisa ditipu, sang fotografer tetap merasa bersalah, dan akhirnya bunuh diri dalam penyesalan.

Puan-puan dan Tuan-tuan, ketidakpedulian kita, sikap kita yang menganggap keberadaaan kita paling penting itulah bencana yang dilahirkan oleh media, termasuk Facebook, bahkan mungkin kini terutama oleh Facebook. Tanpa sadar, kita digiring kepada sikap untuk egois, mementingkan diri sendiri. Jika kita biarkan, kita akan kehilangan kemampuan untuk mendengarkan. Kita kehilangan kemampuan untuk berempati. Kita kehilangan kehangatan kita selaku manusia. Kehilangan kemampuan kita untuk saling berpelukan.

Setiap teknologi tercipta pada awalnya untuk mempermudah hidup kita. Selayaknya kita pergunakan itu dengan bijaksana. Eksis dan narsis memang kebutuhan manusiawi, namun ada kebutuhan lebih mendasar sebagai manusia, kebutuhan untuk bisa mendengarkan suara hati kita, pesan-pesan bijak suara hati yang telah direkamkan Pencipta Agung bagi kita bahkan sebelum kita tercipta. Masih bisakah kau mendengarnya? Suara itu mungkin tidak lagi sekeras waktu kita kanak-kanak dulu, tapi Dia masih ada disana, tenang dan dengarkanlah suara lembutnya.

Bencana dalam berbagai bentuknya merupakan sarana perjumpaan kita dengan nurani. Apapun peran kita, baik jika kita sebagai korban, penolong, pewarta, atau sekedar penonton saja. Jika bencana datang, mampukah kita bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan? Mampukah kita menjawab suara hati kita yang selalu melagukan syair kebaikan?

Bagaimana dengan Anda, Puan-puan dan Tuan-tuan? Kuharap sekarang tidak sedang garuk-garuk kepala seperti saudara tuanya di hutan sana. Jika iya, maaf, hamba cuma bisa tersenyum saja…
Karena beta jua berlaku sama… v(^^)v

Kisah xJB: KAMI TAK BISA BERDANSA

“Mau ikut makrab malam minggu besok Ven?”

“Haa.. makrab?” sahutku memastikan sebab tadi sedang konsentrasi di komik yang kubaca. Kelas cuma berisi beberapa anak sebab ini waktu istirahat. Tiga teman di depan sedang sibuk mengerjakan PR. Empat Lainnya di pojok kiri belakang baru bercerita tidak jelas. Sedangkan aku duduk di tengah menikmati komik City Hunter pinjaman.

“Iya, malam minggu besok sama anak Stece. Sudah ada 15 yang mau ikut, tinggal lima lagi. Kamu ikutlah, biar pas nanti pasangannya.”

Bagi kami makrab merupakan ajang kenalan ma cewek, sebab sekolah kami isinya cowok semua. Di makrab, kami cowok-cowok SMA Kolese John de Britto, biasa disingkat JB, akan bertemu dengan anak-anak sekolah cewek, bisa dari Stella Duce I (Stece), Stella Duce II (Stero), atau Santa Maria (Stama). Banyak teman mendapatkan pacar dari acara itu, tapi banyak juga cerita tragis yang terjadi.

“Ayo, ikutlah. Sekarang banyak yang manis,” rayu temanku. Semuanya tahu, dia punya program sendiri, dia bersemangat sebab baru PDKT dengan seorang cewek di Stece itu, bisa dipastikan cewek yang didekatinya pasti ikut. “Apa saja nanti acaranya?”

“Biasalah kenalan, nanti ada game-game kecil, dan dansa… dansa Ven…”

Nah, sering kudengar dari itu kisah tragisnya bermula, dari acara dansa.

“Kamu belum pernah ikut to? Siapa tahu nanti dapat cewek disana Ven.”

Maka pada malam minggu itu, aku ikut rombongan topeng monyet mengejar para bidadari. Kami, anak-anak JB berdandan seadanya, namun berusaha keras mandi sebelumnya. Pake kaos dan berusaha tampil trendi walau terlihat grogi. Dalam hati aku mengumpat, ‘Brengsek, kenapa aku akhirnya ikut acara seperti ini, kenapa tadi tidak maen PS saja.’

Inilah kekurangan kami. Sekolah berisi cowok semua menjadikan kami bebas dan nyantai dalam urusan cewek. Di saat teman-temanku di sekolah lain ribut soal cewek, kami di JB tenang-tenang saja. Malam mingguan kami habiskan dengan bermain PS di rental atau nongkrong saja di angkringan. Punya pacar menjadi urusan kesekian. Maka saat kami berhadapan dengan makhluk Tuhan yang cantik itu, kami seperti manusia-manusia gua yang berhadapan dengan para dewi dari Khayangan.

Beberapa teman yang punya tampang, bakat, dan keberanian sudah terlihat santai dan akrab. Sementara lainnya masih bergerombol, melakukan aktivitas yang tidak jelas. Payahnya aku termasuk rombongan kedua. Walau sesekali mata ini melirik ke arah para makhluk yang menebar wangi parfum itu. Gadis-gadis itu, mereka berdandan, rambutnya disisir rapi, dan walau tipis tapi mereka memakai make up. Jelas memperlihatkan bahwa mereka sungguh siap dengan acara ini. Waktu itu aku sependapat dengan teori bahwa wanita lebih cepat dewasa daripada pria.

Kami semua dikumpulkan dalam ruangan luas, di satu rumah orang tua anak Stece. Teman yang jadi koordinator acara didampingi satu anak Stece. ‘O.. anak ini to, yang didekatinya,’ batinku. Mereka berusaha membuat kami semua nyaman. Pertama perkenalan, trus ada sedikit permainan. Masih agak kaku dan membosankan. Tapi aku sudah mendapatkan beberapa kenalan. Ketegangan yang kurasakan sudah agak berkurang. Oke.. begini ya rasanya makrab.

Lalu acara puncak pun digelar. Musik dimainkan, dan beberapa teman yang sudah mendapatkan pasangan akrab lalu maju ke depan untuk berdansa. Inilah saatnya. Beberapa teman JB yang dari awal ogah-ogahan, ditambah waktu permainan tidak mendapat kesenangan, mulai menarik diri, asyik dengan acaranya sendiri, menghabiskan makanan dan merokok. Aku ingin ikut mereka, tapi aku malas merokok, dan ada seorang cewek yang dari awal permainan menarik perhatian.

Dia belum mendapat pasangan. Masih asyik bercanda dengan teman-temannya. Sering kudengar cerita tragis temanku ditolak sewaktu mengajak dansa seorang cewek. Tragis karena jelas penolakan itu diketahui oleh semua anak. Malu jelaslah. Besok Senin bisa jadi ajang tertawaan. Walau cuma bercanda, namun penolakan jelas menyakitkan. Apakah aku siap menerima penolakan anak itu?

Aku bimbang. Dia melihat ke arahku sebentar, cuma sebentar saja, tapi cukuplah buatku untuk membulatkan tekat. ‘Ah.. terserah, toh aku sudah sering menerima kegagalan dan rasa sakit sebelumnya, rasanya to mungkin seperti itu juga.’ Maka aku pun maju.

“Mau berdansa denganku?” Kudengar aku mengucapkan kata itu. Benarkah itu yang kuucapkan. Tapi mengapa otomatis aku mengulurkan tangan kanan ke arahnya?

Dia menengok ke arah temannya, teman-temannya tertawa, ‘Apa yang kalian tertawakan? Aku salah ya? Gawat.’ Aku salah tingkah. Jantung ini berdetak kencang. ‘Terima saja Ven, besok Senin seluruh kelas akan tahu kisahmu.’ Suara kecil pasrah bergema di kepala, tenggerokan ini rasanya tercekat. Tapi tidak, dia mengangguk dan menerima uluran tanganku. Kulit telapak tangannya halus sekali.

Aku tidak peduli berapa pasang mata menatap ke arah kami. Kami bergandengan dan memilih tempat yang agak kosong di pinggir. “Aku tak bisa berdansa,” kataku. Dia tersenyum saja. Aku pun cuma bisa meringis.

Dansa. Pernahkah ada pelajaran dansa di JB? Tidak sama sekali tidak. Tidak ada kursus waltz, salsa, cha-cha, tanggo, samba… atau dansa-dansa romantis model Eropa yang bisa membuat para Julliet terjatuh dalam pelukan Romeonya. Trus apa yang kami lakukan waktu acara dansa itu?

Kami tak memahami teori dansa dan untunglah cewek-cewek itu juga tidak peduli kami bisa berdansa atau tidak. Maka seperti yang dilakukan teman-temanku, kedua tanganku memegang pinggangnya. Dia memegang pundakku. Maka kami pun bergoyang perlahan, melangkahkan kaki ke kiri, ke kanan mengikuti alunan lagu melankolis. Awalnya terasa sulit dan kaku tapi kulihat dia juga begitu. Maka kita mencoba bercakap-cakap, bertanya seadanya, menjawab seadanya, setelah itu diam dan tersenyum saja. Lebih banyak diamnya.

Aku tidak ingat lagu apa yang dimainkan. Aku tidak ingat apa yang kita bicarakan. Makin lama gerakan kami makin selaras dan rasanya menyenangkan. Aku mulai berani menatap mata lebih dalamnya. Kurasa dia juga merasa nyaman. Gerakan kami semakin menyatu, rentang jarak kami semakin satu. Bisa kulihat diriku di bening teduh tatapannya. Entah sudah berapa lagu berganti mengiringi gerakan kami, kata temanku sudah tiga lagu, tapi bagiku cepat sekali waktu itu.

Ternyata memang tak butuh teori untuk mengalami kehidupan. Cukup mengalami saja, cukup berani melangkah saja. Saat kita berani mengambil resiko dengan berkata, “Maukah berdansa denganku?” Apapun jawabannya, kita sudah melangkah menjadi para pemenang. Sebab kita sudah mengalahkan ketakutan kita sendiri.

Anggukan kepala adalah bonus, sedangkan gelengan kepala dengan senyum kecut adalah berkah. Apapun jawabannya, itu memacu kita untuk bertindak lebih baik dan bijak.

Kami, anak JB melewati masa SMA dengan makrab, dansa, penolakan dan penerimaan. Walau kami tidak mendapatkan teori dansa, walau kami tidak bisa berdansa. Namun kini kami sedang berdansa dengan kehidupan ini. Itu yang kami pelajari di JB, untuk berani mengambil resiko dan siap menerima kemenangan. Kami belajar menyelaraskan gerakan kami dengan lagu yang diputar sang DJ Agung ini. Kadang kami salah langkah, kadang kami membuat kekonyolan, kadang kami terpeleset jatuh dan ditertawakan, tapi kami berusaha menyajikan dansa terbaik yang bisa kami mainkan.

Sekarang pertanyaanku, dansa apa yang sedang kau mainkan sekarang kawan? Dan apakah kau menikmatinya?



-luv & hug-

Nyepi, dan hati ini butuh menepi

Seakan hidup, patung kertas dan kayu raksasa-raksasa itu menari-nari. Wajahnya garang, rambutnya jalang, matanya melotot tajam. Semuanya menyeramkan. Semua bergerak-gerak bagai kesetanan. Ada buto ijo, ada buto cakil, ada wewe gombel. Ditingkahi tetabuhan gamelan, teriakan orang-orang, dan jeritan tangis anak-anak ketakutan. Malam menjadi semarak dan menegangkan. Seolah mereka menari-nari sepanjang jalan. Mereka diarak, diangkat orang-orang. Berputar-putar di perempatan jalan, memanggil roh-roh jahat supaya berkumpul di tubuh kertasnya.

Dalam memori masa kecilku, imaji yang terkumpul adalah perayaan yang menyenangkan sekaligus menakutkan. Sensasi yang memancing adrenalin dan detak jatung kencang tatkala buto-buto itu seolah mengejarku. Ogoh-ogoh namanya, perwujudan buto kala. Apapun penampilannya, apapun bentuknya tetap menawan dan menakutkan.

Tingginya bisa dua meter bahkan lebih, badannya besar, tangannya panjang berpose seperti leak, merentang dengan kuku-kuku panjang. Patung kertas yang terbuat dari rangka kayu dan bambu dirakit oleh tangan-tangan terampil itu seolah hidup. Mukanya yang dari topeng raksasa selalu melotot, hidungnya selalu besar, giginya runcing bertaring. Rambutnya terbuat dari ijuk, gondrong, semrawut, gimbal. Tubuhnya kadang diberi baju, kadang dibiarkan telanjang bercat merah darah atau hitam, berselendang kain kotak-kotak hitam putih. Ogoh-ogoh adalah simbol roh jahat, tapi di tangan seniman dia seolah hidup dan selalu indah.

Saat malam nyepi tiba, kampung kecilku selalu penuh ramai. Ini perayaan. Orang-orang Hindu berdoa di Candi Prambanan sore harinya, dan malam harinya mereka berkumpul di Pura Jagad Nata, di kampungku. Ini perayaan yang kami tunggu. Tetanggaku yang beragama Hindu dan para pendatang dari Bali selalu berpakaian rapi. Para lelaki tampak gagah dengan kemeja putihnya, dan iket di kepala. Wanita-wanitanya selalu cantik, dengan baju kebaya bali putih, dan kemben dan jarik yang membuat mereka berjalan pelan, anggun dan menawan.

Memori masa kecilku adalah memori yang penuh imaji. Ogoh-ogoh yang dijunjung para lelaki perkasa itu tidak benar-benar hidup. Mereka digerak-gerakkan, digoyang-goyangkan, dan diputar-putar supaya seolah hidup. Berjalan dengan riuh dan ribut untuk memancing roh-roh jahat mendekat, dan masuk ke tubuhnya. Untuk akhirnya dibakar. Ya dibakar menjadi api yang membumbung tinggi di langit malam tanpa rembulan di malam nyepi.

Api yang membakar ogoh-ogoh itu turut membakar semua roh jahat. Lalu menjadi asap, abu dan debu. Lalu nyepi pun dimulai. Orang-orang Bali itu akan kembali ke rumah. Melaksanakan puasa nyepi. amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan).

Nyepi. Bukankah kita juga membutuhkannya saat ini?

Saat setiap hari kita dihajar pekerjaan, dianiyaya teknologi informasi gosip dan berita basi, dan diperkosa keinginan untuk eksis dan narsis. Apa yang kita cari sebenarnya?

Bisakah kita diam sejenak untuk berhenti berlari-lari seperti ini. Bisakah kita cuma diam saja, tidak melakukan apa-apa, dan cuma mendengarkan suara hati kita. Suara lirih yang bertanya, apa yang kau cari sebenarnya sayang?

Kapal tanpa tujuan akhirnya akan karam. Pernahkah engkau tepikan sebentar kapal hidupmu dan mulai melihat jejak-jejak langkahmu yang lalu, pencapaianmu, kegagalanmu. Lalu beranikah engkau melihat pantai yang kau singgahi saat ini dan bersiap untuk melaju lagi dengan energi yang baru, energi yang lebih murni, lebih suci, lebih berarti.

Kalau

kalau kau sempat menengok catatan ini...
aku bisa minta saranmu tidak?

bagaimana caranya mengakhiri hubungan dengan indah,
tanpa air mata duka yang terlalu lama,
hanya ucapan selamat jalan
dan terima kasih....


kalau kau sempat merasakannya, atau mengalaminya, mungkin kau bisa bercerita padaku, bagaimana caramu melakoninya?

aku tidak ingin menyakiti siapapun...

aku hanya tau, jalan yang kutempuh ini tidak lagi menuju padanya. Semakin jauh langkahku, semakin tertinggal dia di rumahnya. Dan mungkin aku tidak bisa lagi menjemputnya.

aku menyakitinya ya.....

aku tidak mengharapkan dia menungguku sampai menjadi batu. aku berharap, dan sangat berharap dia bahagia.

Dan aku bisa melihat sebenarnya hubungan jarak jauh ini tidak akan bisa membahagiakan dia.

Doa-doa Saya yang Tak Terucapkan

Saya minta kesehatan, supaya saya dapat berbuat hal-hal yang lebih besar,
saya diberi kelemahan, supaya saya dapat berbuat hal-hal yang lebih baik.

Saya minta kekayaan, supaya saya dapat bahagia,
saya diberi kemiskinan, supaya saya menjadi bijaksana.

Saya minta kekuasaan, supaya saya mendapatkan pujian banyak orang,
saya diberi kerapuhan, supaya saya merasakan kebutuhan akan Tuhan.

Saya minta semua hal, supaya saya gembira atas hidup ini,
saya diberi kehidupan, supaya saya gembira atas semua hal.

Saya tidak mendapatkan sesuatu pun yang saya minta,
tetapi segala sesuatu yang saya harapkan.

Meskipun keadaan saya demikian ini,
doa-doa saya yang tak terucapkan dikabulkan.

Saya adalah satu di antara semua orang yang sangat diberkati.


(doa yang ditemukan di saku seorang tentara sekutu yang meninggal)

Tentang Kesetiaan

Kita, diakui atau tidak senantiasa menghargai kesetiaan.

Maka kita pun menghormati Paulo Maldini yang tetap setia membela satu tim selama karier profesional di dunia sepakbola. Di saat rekan-rekannya melompat dari satu klub ke klub lainnya, pemain bernomor punggung 3 itu tetap berada di tim yang membesarkannya. Karier kapten kesebelasan AC Milan itu memang luar biasa.

Dia adalah salah satu pemain bertahan terbaik yang pernah ada. Bersamanya "rossoneri” (merah-hitam). meraih berbagai tropi juara. Bahkan suporter Inter Milan yang merupakan rival abadi AC Milan pun angkat topi, spanduk bertuliskan “Selama 20 tahun kamu adalah rival sejati kami, tapi selamanya kami menghormatimu” dibentangkan dalam laga Derby della Madonnina 15 Februari lalu.

Kita, diakui atau tidak senantiasa menghargai kesetiaan.

Bunda Teresa, ibu yang lembut hati dari Kalkuta itu pernah berujar, “Manusia dipanggil untuk setia.” Ungkapan yang indah dan sederhana namun senantiasa sulit untuk terlaksana. Maka kita pun terhenyak ketika kumpulan surat-surat pribadi Ibu kaum papa itu diungkapkan. Bagaimana ternyata Bunda bermata lembut itu merasakan kekosongan yang teramat sangat, tatkala cintanya pada Tuhan tak berbalas. Dia merasa sendiri, dan Tuhan jauh daripadanya.

Bunda yang renta itu, yang pelukannya senantiasa mampu memberikan kehangatan dan perhargaan merasakan malam-malam gelap tak berujung. Kekosongan jiwa yang menyakitkan, namun dia tegar, dan berusaha tetap bertahan dalam kesetiaan. Berapa banyak waktu dia habiskan dalam penderitaan itu, berapa banyak tetes-tetes air mata membasahi pipi keriputnya. Terbayangkan rasa sakit jika cinta tak berbalas. Terbayang rasa tak berharga yang harus ditanggungnya.

Apa yang masih bisa dipertahankan jika kesetiaan dibalas dengan penolakan?

Dedikasi Paulo Maldini luar biasa, dan AC Milan menghargainya juga secara istimewa. Namun bagaimana jika AC Milan membayarnya seharga guru swasta di Indonesia? Bagaimana jika manajemen dan suporter AC Milan tidak menghargai kerja kerasnya? Apakah Maldini bisa setia. Kesetiaan bekerja jika ada timbal balik yang sepadan.

Kesetiaan hadir jika ada penghargaan dan pemanusiaan. Itu logika umum yang kita sadari dan akui. Lalu mengapa Bunda Teresa tetap setia pada Tuhannya walau dia merasa kekeringan yang nyata di hatinya? Mengapa seseorang bisa begitu setia menunggu kekasihnya pulang walau dia tahu kekasih itu sedang berselingkuh di luar sana?

“Dia, aku cintai.”

Jawabannya itu yang kemudian kudengar, dan lidahku pun kelu untuk bertanya. Mataku pun terpejam, dan terbayang fragmen yang setiap tahun aku kenang. Seorang anak manusia memanggul salib ke puncak kalvari. Dia terjatuh berulang kali. Diinjak berulang kali. Dicemooh. Diludahi. Tapi dia berjalan dan tetap berjalan, untuk akhirnya mati di salibnya sendiri. Sendiri.

Apa yang dia lakukan? Tindakannya senantiasa menimbulkan pertentangan sampai akhir jaman. Namun kita yang mengenangnya juga mendapat pelajaran tentang kesetiaan.

Dan jika kau bertanya, “Dan bisakah kau setia Ven?”

Aku hanya ingin memandang matamu dan tersenyum. Aku tidak tahu, aku tidak tahu. Kisah hidupku belum sampai di puncak kalvari itu. Suatu hari nanti jika aku diijinkan ke surga dan bertemu denganmu, sahabat perjalananku, malaikat tanpa sayapku. Di bawah senja biru kemerahan nan hangat, di saat ribuan burung pulang ke sarang, kita akan duduk di padang rumput hijau luas. Akan aku jawab pertanyaanmu.

“Kau takut komitmen ya?”

Sungguh aku tertawa. Bagaimana jika aku tidak usah jawab pertanyaan itu dan malam nanti kubuatkan masakan istimewa untukmu?